Ya … Jabatan Memang bukan Harta Pusaka!

Ilustrasi (foto: Inet)

MENARIK dicermati, pernyataan Wali Kota Subulussalam, Merah Sakti, ketika memberhentikan sejumlah pejabat di bawah kepemimpinannya, Senin (29/10/2018) sore. “Jabatan bukan harta pusaka,” ujarnya.

Pernyataan Pak Wali memunculkan aroma berbeda, tidak lazim pada acara pelantikan. Publik membaca, ada nuansa yang sulit dijabarkan dengan kata-kata.

Muncul pertanyaan, kenapa sampai keluar pernyataan sarkartis semacam itu? Bukankah yang diberhentikan itu pegawainya, pembantunya; rakyatnya sendiri. Bukan musuhnya.

Apa mungkin seorang PNS bisa mengklaim diri sebagai pewaris dan menjadikan jabatan sebagai harta pusaka? Bukankah, mereka diangkat dan dipromosikan sesuai dengan tugas dan fungsi pada lembaga tempat mereka bekerja? Atau, jangan-jangan selama ini penempatan personil dilakukan tidak berdasarkan kompetensi?

Para pegawai tidak bisa menilai diri mereka sendiri. Tidak bisa menandatangani SK sendiri, apalagi untuk melantik diri sendiri!

Dalam konteks itu saja, pernyataan Wali Kota tidak memberi pembelajaran yang baik. Pernyataan Wali Kota bisa memunculkan bias dan menciptakan preseden buruk dalam birokrasi di wilayah itu. Seperti kiasan lama, jika satu telunjuk diarahkan kepada orang lain, sesungguhnya empat jari lainnya justeru mengarah kepada si pemilik telunjuk.

Ketika mengatakan untuk pegawainya, bahwa jabatan bukan harta pusaka, bukankah Wali Kota justeru sedang mempraktikkan apa yang diucapkannya?

Mungkin Wali Kota Subulussalam tidak pernah mengangkat adik, saudara, atau kerabat untuk duduk dalam jabatan di Pemerintahannya. Tapi, hal seperti itu sudah lazim dan lumrah di tempat lain.

Ada bupati/walikota yang mengangkat adik atau kerabatnya menjadi pejabat penting di dalam pemerintahan yang dia pimpin. Apakah perilaku seperti ini tidak masuk kategori memberikan “harta pusaka”?

Pelantikan, Senin sore, itu sejak jauh hari, konon, memang sudah lama menjadi desas-desus. Makanya, sempat ditunda. Dan, senin sore itu, dalam kondisi tergopoh-gopoh, pergantian pejabat tetap dilaksanakan meskipun tanpa persiapan sebagaimana lazimnya. Misalnya, para pejabat yang akan dilantik diberi tahu lebih awal, sehingga memiliki cukup waktu untuk persiapan.

Karena mendadak, pejabat yang dilantik akhirnya hanya menggunakan baju dinas biasa, bukan jas sebagaimana lazimnya sebuah prosesi pelantikan.

Tapi, terserahlah. Toh, wali kota pasti punya alasan: bahwa baju tidak menjadi syarat sahnya sebuah pelantikan. OK, kita sepakati itu. Tapi, pelaksanaan pelantikan yang tergopoh-gopoh, bagaimana pun juga tetap menyiratkan prasangka: ada apa di balik itu semua?

Baiklah. Mari kita menyikapi pembangunan Aceh di segala wilayah dan segala lini secara bijak dan arif dengan mengedepankan semangat kemajuan dan kesejukan.

Mari kita gunakan kaca mata rasional dan obyektif. Mengacu saja pada indikator yang berlaku, sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika memang seseorang memiliki kecakapan dan memenuhi syarat sebagaimana ketentuan, tidak ada masalah, apakah dia adik atau isteri bupati sekalipun.

Ukurannya adalah aturan. Bukan perasaan!

Belajar dari peristiwa Subulusaalam, hendaknya ini menjadi sebuah catatan; bahan introspeksi, menjadi pelajaran bagi daerah lain.

Kita sedang membangun daerah, menuju kepada satu titik fokus yang sama: meningkatkan kesejahteran masyarakat. Kalau setiap waktu, energi habis terkuras untuk gonta-ganti pejabat, kapan birokrasi bisa fokus bekerja?

Peristiwa itu juga hendaknya menjadi perhatian serius Kemendagri sebagai wasit dalam penataan birokrasi. Mendagri perlu malakukan evaluasi dan mengambil tindakan tegas terhadap kesewenang-wenangan yang terjadi dalam mutasi jabatan pegawai negeri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *