BERTEPATAN dengan peringatan Nuzulul Quran tahun 2025, Pemerintah Aceh mengeluarkan Instruksi Gubernur Wajib Shalat Berjamaah. Instruksi berlaku untuk seluruh ASN Aceh dan masyarakat setempat.
Sebagai rakyat Aceh kita pantas menyambut baik “terobosan” Gubernur Muzakkir Manaf, meskipun kita belum tahu ada motif apa di balik “instruksi” fenomenal tersebut? Apakah benar-benar ingin membenahi kehidupan ummat menuju ridha Allah atau ada motif tersembunyi di sana?
Terlepas apapun motifnya, kita tetap berupaya husnuzzan, bahwa Pemerintah Aceh benar-benar ingin membawa rakyatnya menuju kesejahteraan yang dijanjikan Allah.
“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-A’raf: 96)
Shalat sejatinya bukan sekadar ritual belaka, tetapi harus dilihat sebagai miniatur kehidupan. Allah berfirman: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” Namun, jika shalat harus diwajibkan melalui aturan pemerintah, apakah ini benar-benar akan membangun kesadaran spiritual atau hanya menciptakan kepatuhan semu?
Shalat dan Kepemimpinan Sosial Politik
Dalam shalat berjamaah, imam dipilih karena ilmunya, bukan pertimbangan popularitas. Ia harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berilmu, adil, tidak otoriter, dan dicintai makmumnya. Jika shalat berjamaah ingin dijadikan model kehidupan sosial dan politik, seharusnya prinsip-prinsip ini juga diterapkan dalam pemerintahan.
Begitu pula dalam kepemimpinan politik, pemimpin harus memiliki pemahaman yang cukup tentang tata kelola pemerintahan. Sayangnya, banyak pemimpin yang muncul bukan karena kompetensi, tetapi karena lingkaran oligarki dan kepentingan politik kelompok tertentu.
Di negara-negara demokratis, pemimpin dipilih berdasarkan meritokrasi yaitu berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak. Namun di Indonesia, kepemimpinan seringkali ditentukan oleh elektabilitas semu, retorika agamis, atau pencitraan kosong. Akibatnya, rakyat justru dipimpin oleh orang-orang yang minim kapasitas dan hanya mempertahankan kekuasaan kelompoknya.
Pemimpin harus dicintai, bukan sekadar dipilih. Dalam shalat berjamaah, imam yang dibenci makmumnya tidak layak memimpin. Begitu pula dalam politik, pemimpin yang kehilangan kepercayaan publik seharusnya tidak memaksakan diri tetap berkuasa.
Namun di Indonesia, banyak pemimpin yang mempertahankan kekuasaan meski sudah kehilangan kepercayaan. Mereka tidak peduli. Selama ada mekanisme hukum dan politik yang memungkinkan, mereka tetap bertahan. Jika ini terjadi, rakyat berhak menegur, sebagaimana makmum menegur imam yang keliru.
Pemimpin juga harus bersih dan bermoral. Seorang imam tidak boleh memiliki cacat moral atau kehormatan yang tercela. Bagaimana mungkin seseorang yang dikenal fasik menjadi panutan dalam ibadah?
Namun dalam politik, banyak pemimpin lahir dari sistem yang korup, bahkan terbukti melakukan pelanggaran hukum, tetapi tetap bisa menduduki jabatan publik. Jika pemimpin memiliki rekam jejak buruk, bagaimana bisa diharapkan menciptakan kepemimpinan yang adil dan bermartabat?
Selain itu, pemimpin tidak boleh otoriter tapi harus responsif terhadap kritik. Dalam shalat berjamaah, imam harus memperhatikan makmum. Jika ia terlalu cepat atau lambat tanpa mempertimbangkan kondisi jamaah, makmum berhak menegurnya. Jika imam tetap keras kepala, makmum boleh memisahkan diri dan shalat sendiri.
Dalam politik, rakyat seharusnya memiliki hak yang sama. Pemimpin tidak boleh otoriter dan menutup telinga terhadap kritik. Jika pemimpin bersikap represif terhadap suara rakyat, maka rakyat berhak menegur, bahkan menggantinya.
Sayangnya, kritik di Indonesia sering kali dihadapi dengan tindakan represif. Aktivis dikriminalisasi, media dibungkam, dan rakyat yang berani melawan sering dituduh makar. Ini mirip dengan kondisi di mana imam yang keliru justru memaksa makmum untuk tetap mengikutinya, bahkan melarang mereka mengingatkan kesalahannya.
Kesalehan Struktural atau Kesalehan Substansial?
Kebijakan wajib shalat berjamaah di Aceh tidak boleh sekadar menjadi regulasi simbolik. Kesalehan tidak bisa dipaksakan melalui aturan, melainkan harus tumbuh dalam kesadaran individu dan diterapkan dalam kebijakan publik. Jika pemerintah benar-benar ingin menegakkan nilai Islam, maka prinsip shalat berjamaah harus diterapkan dalam tata kelola pemerintahan.
Menjadikan shalat berjamaah sebagai ritual tanpa memahami substansinya adalah ironi. Di satu sisi, masyarakat diwajibkan shalat bersama, tetapi di sisi lain, prinsip kepemimpinan dalam shalat diabaikan dalam politik. Jika pemerintah ingin menjadikan shalat sebagai cerminan kehidupan sosial, maka keteladanan harus dimulai dari atas.
Pemimpin harus berani menegakkan keadilan, mendengarkan rakyatnya, serta bersedia dikoreksi tanpa represif terhadap kritik. Jika tidak, maka kebijakan ini hanya menjadi alat kontrol sosial untuk meningkatkan citra pemerintah.
Jika shalat berjamaah benar-benar ingin dijadikan model dalam kehidupan sosial dan politik, maka pemerintah Aceh seharusnya tidak hanya mewajibkan shalat berjamaah, tetapi juga menerapkan prinsip kepemimpinan yang terdapat di dalamnya.
Jika pemimpin benar-benar ingin menegakkan nilai-nilai Islam, mereka harus menjadi figur yang layak diikuti, bukan sekadar memerintahkan rakyat shalat berjamaah sambil menutup mata terhadap realitas ketidakadilan, korupsi, dan kesewenang-wenangan.
Akhirnya, kita harus bertanya, apakah kebijakan ini untuk membangun kesalehan substansial, atau hanya kesalehan simbolik? Jika hanya sebatas pencitraan, maka wajib shalat berjamaah ini tak lebih dari manipulasi agama untuk kepentingan politik.
Bagaimanapun juga, sebuah kebijakan tetap menyisakan ruang perdebatan. Apalagi ketika prosesnya tidak menyertakan pelibatan publik.
Akan seberapa kuat Ingub ini? Tentu saja tidak lebih tinggi dari Al Quran! Lha, perintah Allah di dalam kitab suci saja banyak diabaikan oleh penduduk negeri ini, konon lagi sebuah Ingub?
Semoga instruksi ini bukan trik politik, tetapi benar-benar merupakan upaya membawa Aceh menuju negeri yang dirahmati Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.[]
Penulis: alumni IAIN Ar Raniry Darussalam, Banda Aceh