KabarAktual.id – Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, menegaskan bahwa organisasi yang ia pimpin sejak 2013 bukanlah singkatan “Pro Jokowi”. Istilah Projo, kata dia, berasal dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kawi yang berarti “negeri” atau “rakyat”.
Dia menjelaskan, Projo itu artinya negeri dalam bahasa Sanskerta, dan dalam bahasa Jawa Kawi artinya rakyat. “Jadi sejak awal, Projo bukan singkatan dari Pro Jokowi,” kata Budi Arie di sela-sela Kongres III Projo di Hotel Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu (1/11/2025).
Beberapa waktu lalu, Budi Arie sempat menjelaskan bahwa Projo itu artinya Pro Jokowi. “Kalau bukan Pro Jokowi bukan Projo namanya,” ucap Budi Arie seperti dikutip dalam video TikTok yang kembali viral.

Belakangan Budi Arie menampik pernyataan yang pernah diutarakannya beberapa waktu lalu. Ia berdalih, penyebutan Pro Jokowi hanyalah kebiasaan media sejak masa Pilpres 2014 karena lebih mudah dilafalkan. “Kepanjangannya memang tidak ada. Teman-teman media saja yang menyingkat jadi Pro Jokowi karena terdengar lebih gampang,” sambungnya lagi.
Baca juga: “Termul”
Dalam kongres tersebut, Budi Arie juga mengumumkan rencana perubahan logo Projo. Logo lama yang menampilkan siluet wajah Jokowi, kata dia, akan diganti agar tidak menimbulkan kesan kultus individu. “Logo Projo akan kita ubah supaya tidak terkesan kultus terhadap seseorang,” tegasnya.
Logo Projo selama ini dikenal dengan warna dasar hitam dan merah, menampilkan wajah Jokowi di dalam lingkaran putih dengan tulisan “Projo” di bagian bawah.
Dari Relawan ke Ormas Nasional
Projo pertama kali berdiri pada 23 Desember 2013 sebagai organisasi relawan untuk memenangkan Jokowi di Pilpres 2014. Setelah Jokowi terpilih, organisasi ini berubah menjadi ormas melalui Kongres Pertama Projo pada 23 Agustus 2014 dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Mengutip buku Menjemput Takdir Sejarah: Tiga Tahun Transformasi Projo Menjadi Ormas (2014–2017), kata projo berarti pemerintahan, negeri, atau istana dalam bahasa Sanskerta, dan berarti rakyat dalam bahasa Jawa Kawi. “Mereka yang mengaku Projo adalah orang-orang yang mencintai negeri dan rakyat,” tulis buku tersebut.
Baca juga: Jumlah Termul Sudah Capai 29 %
Projo didirikan oleh sejumlah kader PDI Perjuangan dan aktivis 1998, di antaranya Budi Arie Setiadi, Gunawan Wirosaroyo, Suryo Sumpeno, Fahmi Alhabsyi, Jonacta Yani, dan Firmansyah. Pembentukannya dilatarbelakangi aspirasi kader daerah yang menginginkan Jokowi maju sebagai capres, bukan cawapres, ketika wacana pasangan Mega–Jokowi ramai beredar menjelang Pilpres 2014.
“Saat itu banyak yang bilang PDIP seperti tidak pro Jokowi untuk capres, jadi aspirasi itu kami tampung,” kata Budi Arie saat deklarasi Projo di Jakarta Selatan, Desember 2013.
Baca juga: Demokrasi di Persimpangan: Tatkala Idealisme Mati, Pragmatisme Jadi Raja
Perjuangan para relawan tersebut akhirnya berbuah ketika PDIP resmi mengusung Jokowi sebagai capres pada 14 Maret 2014. Setelah kemenangan Jokowi, Projo tidak bubar, melainkan melanjutkan kiprahnya sebagai ormas yang mengawal kepemimpinan Jokowi dan memperluas gerakan di masyarakat.
Dukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024
Meski dikenal sebagai relawan Jokowi, pada Pilpres 2024 Projo menjatuhkan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Saat deklarasi pada 2023, Budi Arie menyebut Prabowo sebagai sosok yang dianggap mampu melanjutkan program dan visi pemerintahan Jokowi.
Budi Arie sendiri merupakan mantan kader PDI Perjuangan yang pernah menjabat Ketua DPD PDIP DKI Jakarta (1998–2001) dan Ketua Badan Litbang PDIP DKI (2005–2010). Ia sempat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika pada pemerintahan Jokowi, lalu dipercaya sebagai Menteri Koperasi di kabinet Prabowo. Namun, pada 8 September 2025, ia digantikan oleh Ferry Juliantono dalam reshuffle kabinet.
Dengan penegasan dan perubahan simbol organisasi, Budi Arie ingin meneguhkan bahwa Projo kini berdiri bukan atas nama seseorang, melainkan atas dasar semangat rakyat dan pengabdian pada negeri.[]












