Kepsek “Mainan”

Ilustrasi (foto: Pixabay)

SEORANG kepala sekolah (kepsek) bercerita kepada media ini tentang evaluasi terhadap kinerja mereka yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh. Evaluasi itu diberi nama cukup mentereng: Asesmen Kompetensi Kepala Sekolah (AKKS).

Kegiatan tersebut tentu bukan main-main. Meski kepada publik, pejabat di sana menjelaskan, bahwa AKKS tidak dimaksudkan sebagai evaluasi untuk melakukan mutasi kepala sekolah, tapi agenda itu pasti punya tujuan penting. Kalau tidak, mana mungkin pejabat Disdik repot-repot menyelenggarakannya.

Sebagai bukti bahwa AKKS itu penting, Disdik harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk melakukan berbagai persiapan, seperti membuat website khusus. Disdik juga sangat serius dan sungguh-sungguh melakukan AKKS, hingga harus dibuat simulasi segala.

Itu artinya AKKS adalah kegiatan penting. Makanya, para kepala sekolah sangat serius mengikuti program ini. Bahkan, ada yang stres ketika mereka tidak bisa log in saat mengikuti program tersebut. Mereka tetap punya keyakinan, bahwa AKKS adalah salah satu alasan untuk diperpanjang tidaknya jabatan.

Bisa jadi persoalan ini sepele di mata orang tertentu. Misalnya, seperti ungkapan pejabat di sana yang mengatakan, evaluasi itu tidak punya hubungan dengan rencana mutasi. Tapi, kepsek ada yang sudah sangat stres akibat kebijakan tersebut. 

Baiklah. Lupakan sejenak silang pendapat. Yang pasti, sebuah evaluasi tentu punya tujuan baik. Apa lagi jika kegiatan tersebut ingin menghasilkan kepsek berkualitas. Karena, kepsek yang baik dan berprestasi tentu saja mempunyai korelasi dengan mutu pendidikan.

Nah, masalahnya, apakah AKKS itu benar-benar evaluasi atau hanya ecek-ecek? Sebab, menurut pengakuan sejumlah sumber, kegiatan itu hanya akal-akalan oknum pejabat di instansi tersebut.

Seperti pengakuan seorang kepsek, ada permainan tak sehat pada pelaksanaan AKKS. Informan ini mengatakan, ada “tim ija krong” yang mempengaruhi pengambil kebijakan di Dinas, sehingga memunculkan kubu-kubu di dalam komunitas kepsek. “Ada kepsek orangnya Kabid, ada pula yang jadi anak tiri,” ujar sumber itu.

Masalahnya tidak hanya soal like and dislike. Fenomena itu menjelaskan bagaimana pendidikan dikelola secara tidak sehat. Kepsek peliharaan “ordal” dapat fasilitas “”jalan tol””, yakni kunci jawaban. Sedangkan “anak tiri”, jangankan bisa ikut ujian, mengakses saja tidak bisa. Itu satu masalah.

Masalah yang lebih substantif bukan di situ. Evaluasi itu hanya menjadi mainan mana kala semuanya disiapkan oleh pihak Disdik yang menyebabkan pelaksanaannya tidak obyektif. “Dia yang membuat soal, dia yang menilai sendiri. Mana ada obyektif,” kata seorang pejabat di sana.

Lebih tragis lagi, orang yang melaksanakan penilaian justeru tidak paham tugas kepala sekolah. Jangankan jadi kepala sekolah, jadi guru saja tidak pernah. Bagaimana menilai pekerjaan yang dia tidak paham?

Karena itu, agar kegiatan ini tidak menjadikan kepsek sebagai kelinci percobaan, disarankan, agar diserahkan saja kepada pihak lain, pihak yang independen. Apakah kampus atau kelompok profesional lainnya. Jangan lagi menjadikan kepsek sebagai mainan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *