KabarAktual.id – Penggunaan media sosial di kalangan generasi muda Aceh memasuki fase memprihatinkan. Fenomena teumeunak (maki-maki), saling mengejek, hingga berbagai konten dan permainan berbau pornografi telah mencederai nilai-nilai etika dan syariat Islam yang menjadi jati diri masyarakat Aceh.
Padahal, Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberi keistimewaan untuk menjalankan syariat Islam secara kaaffah. Namun ironisnya, ruang digital yang seharusnya menjadi sarana komunikasi positif justru kerap disalahgunakan.
Banyak pengguna media sosial berlomba-lomba mencari popularitas dan menaikkan jumlah followers dengan membuat konten yang bertentangan dengan adab serta nilai-nilai keislaman. Jika kondisi ini terus dibiarkan, generasi muda Aceh akan kehilangan arah moral dan etika. “Anak-anak kita akan meniru perilaku negatif yang mereka lihat di media sosial,” ujar Dr. Jummaidi Saputra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Rabu 8 Oktober 2025.
Menurut akademisi yang juga pemerhati sosial ini, media sosial sejatinya memiliki banyak fungsi positif, seperti memperluas komunikasi tanpa batas geografis, berbagi informasi secara cepat, menjadi sarana hiburan yang mendidik, mendukung promosi bisnis, dan membangun personal branding yang baik. Namun, fungsi-fungsi tersebut kini bergeser menjadi ajang provokasi dan penyebaran konten yang merusak moral masyarakat Aceh.
Menurut dia, Pemerintah Aceh tidak boleh hanya bersikap pasif. Perlu mengambil langkah konkret dan strategis, dengan segera membuat aturan khusus untuk membentuk sistem pengawasan yang jelas terkait penggunaan media sosial agar tetap selaras dengan nilai-nilai syariat Islam. “Ini penting supaya moral dan etika generasi muda Aceh tidak semakin rusak,” tegasnya.
Dalam perspektif hukum nasional, dasar pengaturan perilaku bermedia sosial sebenarnya sudah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Kedua regulasi ini menjadi landasan hukum bagi penggunaan media sosial secara etis dan bertanggung jawab.
Namun, Jummaidi menilai bahwa dalam konteks Aceh, kedua undang-undang tersebut perlu disinergikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam agar pengawasan dan penegakan etika bermedia sosial lebih efektif. “Pengawasan hukum harus disertai edukasi digital dan penguatan literasi etika bagi masyarakat, agar kesadaran bermedia sosial tumbuh dari hati, bukan karena takut sanksi,” ujarnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa Aceh harus menjadi teladan bagi daerah lain dalam penerapan syariat Islam, bukan hanya dalam kehidupan nyata, tetapi juga di ruang digital. “Etika bermedia sosial adalah bagian dari tanggung jawab moral. Jika ruang digital kita tidak dijaga, maka moral dan identitas keislaman Aceh pun akan tergerus,” pungkas Dr. Jummaidi.[]