DINAS Pendidikan Aceh, baru-baru ini, menerbitkan Surat Edaran Nomor 400.3.8/5936 Tahun 2025 yang mengatur aktivitas peserta didik pada malam hari. Murid dilarang berada di luar rumah setelah pukul 22.00 WIB, kecuali untuk kepentingan mendesak, itu pun harus dengan pendampingan orang tua.
Dari sudut pandang husnuddzan, tentu kita harus melihat “edaran” ini sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi muda. Sebagaimana diungkapkan dalam edaran tersebut, ini semua untuk menekan kenakalan remaja, meningkatkan kualitas akademik dan vokasi, serta membentuk karakter religius dan tertib waktu. Kita harus apreasiasi itu.
Namun, jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini menyimpan sejumlah problem serius yang perlu dikritisi secara obyektif. Kita harus melihat “persoalan” edaran ini lebih dari sekedar niat baik semata. Sekali lagi, kalau hanya soal niat baik tentu kita semua sepakat bahwa setiap upaya untuk menyelamatkan generasi harus kita apresiasi.
Ini bukan hanya soal implementasi, tapi juga menyangkut ranah kewenangan institusional Disdik sebagai instansi Pemerintah yang tentu punya kewenangan yang terbatas.
Pertanyaan pertama yang perlu kita jawab adalah apakah benar sebuah dinas teknis seperti Dinas Pendidikan memiliki otoritas untuk mengatur perilaku murid di luar jam sekolah? Khususnya di ruang sosial yang bahkan hingga ke pemerintah desa, camat, atau bahkan aparat keamanan?
Surat edaran ini seolah menjadikan Dinas Pendidikan sebagai penyelamat tunggal atas kerusakan moral generasi muda. Padahal realitas sosial jauh lebih kompleks. Kenakalan remaja, pergaulan bebas, balapan liar, dan penyalahgunaan narkoba, tidak cukup dijawab melalui edaran jam malam; tidak segampang itu. Ini problem struktural yang cukup kompleks dan telah berlangsung cukup lama, Ini akibat lemahnya kontrol sosial, rusaknya ikatan keluarga, terbatasnya ruang ekspresi anak muda, serta gagalnya pendidikan karakter yang substansial.
Di sisi lain, surat edaran ini pun menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan keberlanjutannya. Dinas Pendidikan bukanlah aparat penegak hukum. Ia tidak memiliki instrumen untuk memantau, apalagi menindak pelanggaran di luar lingkup institusi sekolah.
Ketika pelaksanaannya diserahkan pada koordinasi lintas sektor mulai dari pemerintah desa, tokoh agama, hingga aparat gampong tanpa kejelasan mekanisme dan anggaran, maka kemungkinan besar edaran ini hanya menjadi dokumen formal yang tidak menyentuh akar persoalan.
Lebih parah lagi, tanpa indikator evaluasi yang terukur dan sistem tindak lanjut yang jelas, kebijakan ini berisiko menjadi blunder. “Menyo hana mungken pubuet, leubeh get bek peugah”. Artinya, jika saja edaran ini tidak efektif dan hasilnya nihil atau bahkan lebih buruk; mungkin memicu resistensi masyarakat, maka saya mengkhawatirkan nantinya Dinas Pendidikan justru akan kehilangan legitimasi sosial.
Ini bukan saja soal tidak efektif, tetapi juga soal bagaimana kebijakan publik bisa merusak kepercayaan jika dibuat tanpa pertimbangan matang, tanpa uji coba, dan tanpa fondasi regulasi yang kokoh.
Sekali lagi terlepas dari niat baik dan kepedulian besar yang dimiliki, solusi yang lebih masuk akal yang harus dilakukan Disdik bukanlah pengetatan aturan yang bahkan di luar ranah kewenangan mereka, melainkan penguatan fungsi edukatif sekolah dan rumah. Sekolah perlu didorong untuk menyelenggarakan kegiatan malam yang positif dan bermakna tentu juga harus ada langkah antisipatif agar kegiatan seperti belajar kelompok, diskusi karier, pelatihan vokasi, hingga forum keagamaan yang dijalankan tidak malah menjadi “peluang” baru bagi pelanggaran moral lainnya yang mungkin saja terjadi.
Sementara itu, di sisi lain, Disdik juga harus memikirkan bagaimana caranya agar keluarga yang sangat diharapkan kepeduliannya perlu difasilitasi untuk menjadi ruang dialog antara orang tua dan anak, misalnya dengan mengundang orang tua secara rutin ke sekolah untuk mendapatkan pendampingan agar mereka bisa menjadi “tempat teduh” yang nyaman bagi anak-anaknya. Artinya, bukan sekadar objek sosialisasi dari atas.
Pertanyaan selanjutnya adalah “pat tacok peng?” untuk merealisasikan program-program progressif yang harus diadakan oleh sekolah seperti tersebut di atas?
Daripada sekedar membuat edaran yang mengatur larangan keluar malam, lebih baik Disdik menginisiasi dulu pilot project di beberapa daerah berupa “Sekolah Malam Kreatif” atau “Rumah Belajar Gampong” yang memberikan alternatif kegiatan malam bagi remaja tentunya dengan menjajaki terlebih dahulu kerja sama dan dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota. Jika kemudian terbukti efektif bisa diperluas ke wilayah lainnya.
Kolaborasi nyata dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, organisasi pemuda, dan aparat desa akan jauh lebih berdampak daripada surat edaran tanpa taji dan tentunya ini sulit dilakukan oleh instansi seperti Disdik.
Kita tentu tidak ingin membiarkan generasi muda tenggelam dalam arus destruktif. Tapi, kita juga tidak boleh terjebak dalam messiah complex yang membuat kita mengira bahwa satu kebijakan dari satu institusi mampu menyelesaikan kompleksitas sosial sendirian. Pendidikan bukan hanya soal imbauan moral, tapi tentang pembiasaan, keteladanan, dan ekosistem sosial yang sehat.
Mendidik remaja bukan seperti mengatur lampu lalu lintas, melainkan membangun jembatan ke masa depan. Dan, jembatan itu hanya bisa kokoh jika dibangun bersama, dengan landasan yang kuat dan pemahaman yang mendalam terhadap realitas di lapangan. Jika tidak, maka edaran seperti ini hanya akan menjadi narasi kosong yang tak lebih dari sekadar catatan administratif.
Ingatlah, kepedulian tanpa kewenangan adalah mimpi. Kebijakan tanpa pelibatan adalah otoritarianisme samar. Dan pendidikan tanpa refleksi hanyalah pengulangan formalitas yang menjauhkan kita dari esensi, karena pendidikan yang sesungguhnya adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan dengan membangun dan menumbuhkan kesadaran, bukan dengan “pemaksaan”.
Kita hargai niat baiknya, tapi kita kritisi agar niat baik Disdik tidak malah menjadi blunder yang pada akhirnya merusak “kredibilitas” Disdik karena “blunder” kebijikan yang tidak dipersiapkan secara matang. Kita tentu tidak ingin menyimpulkan, kalau edaran itu lahir dari kegamangan seorang Marthunis yang kehilangan cara untuk tetap terlihat populis di tengah keterbatasannya memahami substansi tugas membangun pendidikan.
Maju terus Disdik, tapi jangan sampai offside!
Penulis; alumni IAIN (sekarang UIN) Ar-Raniry) Banda Aceh