TERSERAH, siapa yang bakal dipilih nantinya oleh Pusat menjadi Pj Bupati Aceh Besar untuk masa tugas tahun kedua. Bisa saja diambil salah satu dari empat nama usulan DPRK. Atau, bisa juga dari daftar usulan Gubernur Aceh yang telah mengeleminir nama Sekda Sulaimi.
Jika membaca kedua daftar itu, Muhammad Iswanto tampaknya memiliki kans besar untuk dilantik kembali. Ada beberapa faktor. Pertama, nama dia ada dalam kedua daftar (usulan versi DPRK dan gubernur). Kedua, ia merupakan pejabat “”pamong”” yang tentu saja memiliki jaringan luas dimana-mana, termasuk di Pusat (baca: Kemendagri).
Beda dengan beberapa nama lain. Sulaimi, misalnya. Jangankan di Kemendagri, sampai di kantor gubernur saja nama dia sudah hilang. Calon lain lebih-kurang sama. Kemungkinan tidak punya jejaring sehebat sosok tadi.
Peluang-peluang tadi biarlah menjadi catatan usang. Sebab, keputusan akhir ada di sana, di Jakarta. Itu ranah kewenangan Pusat. Mungkin hak prerogatif Mendagri.
Di luar itu, bagi publik, khususnya masyarakat Aceh Besar, ada hal yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja di tengah hiruk-pikuk pembahasan calon Pj bupati. Aspirasi publik yang selama ini, terkesan, tak didengar.
Meskipun, sah-sah saja bila dikesampingkan oleh kekuasaan. Sebab, penetapan seorang Pj bupati bukanlah sebuah proses politik, tapi ini keputusan pejabat birokrasi. Ini persoalan administrasi.
Sampai di situ, seakan-akan aspirasi masyarakat menjadi bagian yang terpisahkan dari urusan birokrasi. Seakan-akan ia menjadi diri sendiri, tidak punya kaitan dengan kinerja birokrasi. Padahal, birokrasi itu sendiri, bekerja untuk publik. Karena, pemerintahan, pada hakekatnya hanya fasilitator urusan publik. Ia hanya pelayan sistem pemerintahan yang bekerja dengan benar.
Maka, sesungguhnya, menjadi aneh ketika aspirasi publik dikesampingkan dalam urusan penentuan pemimpin yang nantinya akan melayani kebutuhan mereka. Kalau itu terjadi, maka tidak salah, jika dalam perjalanannya kemudian, apa yang dilakukan oleh pejabat publik tidak sejalan dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat.
Kembali ke persoalan calon Pj bupati Aceh Besar. Ada satu catatan penting dari sekian banyak dialektika yang berkembang di masyarakat, selain pergulatan ide di kalangan elit politik DPRK tentunya.
Seperti diungkapkan seorang akademisi Aceh Besar, Usman Lamreung, bahwa pengajuan kembali nama Muhammad Iswanto sebagai calon Pj bupati tidak terlepas dari dugaan transaksional berbau politis.
Pengamat kebijakan publik itu menerabas, ada fenomena yang kontradiktif dari solusi yang dihasilkan sebagai keputusan kelembagaan Dewan. Sangkaan “transaksional” itu berkait dengan pencairan anggaran Pokir. Benar tidaknya dugaan ini, wallahu ‘alam. Hanya Allah dan mereka saja yang tahu.
Tidak hanya dari unsur kampus, kalangan kombatan juga memberi catatan miris atas kepemimpinan Iswanto. Kata seorang mantan komandan operasi GAM, kepemimpinan Pj Bupati Muhammad Iswanto sama sekali tidak berpihak pada petani.
Oke-lah. Kalau tadi penilaian dari angkatan tua. Dari para senior. Coba dengarkan pula apa kata anak muda Aceh Besar.
Seperti dirilis banyak media, Ketua Himpunan Mahasiswa Aceh Besar (HIMAB) menilai, Pj Bupati Muhammad Iswanto lebih banyak menghabiskan waktu untuk aktivitas pencitraan selama menjabat. Kata mahasiswa, pejabat eselon II Pemerintah Aceh tersebut lebih banyak terlihat dalam aksi-aksi yang bersifat sensasional.
Dengan nada sedikit sinis, ketua HIMAB berkata, membangun Aceh Besar tidak cukup dengan senyuman, apalagi hanya sekedar membagikan paket bantuan yang sudah terkemas. Tidak ada yang istimewa pada kegiatan tersebut. “Itu bisa dilakukan oleh siapapun, tidak mesti seorang Pj bupati,” kata Dias Rahmatullah, Ketua Umum HIMAB, seperti menyindir Iswanto yang suka mempublikasikan kegiatan seremoni bagi-bagi paket sembako.
Menarik juga cara anak muda membuat sindiran. Menurut mereka, Pj bupati tidak boleh miskin ide. Jangan hanya bikin sensasi. “Kita butuh sosok pimpinan yang kompeten di bidangnya, bukan tukang kutip sampah. Jika ingin sensasional, silakan jadi konten kreator saja,” kata mahasiswa. Nah, lho!