Alhudri;  Simfoni Kekuasaan di Tengah Badai Kontroversi

Ilustrasi (foto: Pixabay)

LANGKAH-langkahnya terhitung licik dan kalkulatif. Menyerupai permainan bidak catur, strategi Alhudri bergerak strategis menuju kemenangan.

Keikutsertaan bekas camat ini sebagai calon bupati Aceh Tengah pada Pilkada 2024 menjadi langkah pembuka, sebuah manuver berani yang dimulai dengan mengorbankan jabatan Pj Bupati Gayo Lues.

Pengorbanan ini, bagaikan sebuah taruhan besar, menimbulkan gelombang kontroversi yang mengguncang sendi-sendi politik Aceh.  

Pengunduran dirinya dari Pilkada, meskipun dibalut alasan  — demi tetap berkarier di ASN karena minimnya representasi putra daerah —  justru semakin mengukuhkan citranya sebagai seorang yang pragmatis dan tak kenal kompromi.

Namun, di balik kemenangannya tersimpan konflik yang membayangi.  Perseteruannya dengan Bustami Hamzah, mantan Sekda Aceh yang pernah bertahta sebagai Pj Gubernur, menyerupai pertarungan epik antara dua raksasa. 

Jejak digital menjadi saksi bisu, mengungkap peran Bustami dalam pencopotan Alhudri dari jabatan Kepala Dinas Pendidikan Aceh. 

Kini, ironinya, Alhudri telah menduduki posisi yang ditinggalkan lawannya, sebuah kemenangan yang pahit bagi yang satu dan manis bagi yang lain.

Bayang-bayang pertanyaan menggantung di udara.  Apakah Mualem dan elit Partai Aceh, dengan mata jeli, tak menyadari reputasi Alhudri yang telah ternoda? Laporan Panwaslih Aceh, yang menggemakan pelanggaran etik Alhudri dalam Pilkada 2024, telah menjadi konsumsi publik. 

Namun, penunjukan Alhudri sebagai Plt Sekda tetap terjadi, menimbulkan bisikan tentang kesepakatan tersembunyi, sebuah perjanjian rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.

Dan, upaya untuk menghalangi laju Alhudri bagaikan gelombang yang menghantam karang.  Ketua DPRA Zulfadhli, dengan gagah berani, mencoba menghentikan “kereta” yang melaju kencang.  Namun, ia — seperti kucing yang disiram comberan —  akhirnya tak berdaya di hadapan kekuatan elit yang tak terlihat.

Akankah simfoni kekuasaan ini berlanjut dengan harmonis?  Atau, akankah kontroversi yang membayangi Alhudri  — seorang ASN pelanggar etik di puncak birokrasi Aceh —  menciptakan disonansi yang suram bagi masa depan pemerintahan Aceh? 

Bagaimana pula pelaksanaan fungsi pengawasan legislatif ke depan setelah dibungkamnya Zulfadhli? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap menggantung, menanti jawabannya di masa mendatang.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *