Awas, Sandiwara China Saboh Geudong !

Ilustrasi (foto: Pixabay)

DUNIA politik tidak ubahnya seperti medan pertempuran. Butuh strategi untuk mengalahkan lawan sekaligus merebut — lebih tepatnya menipu — simpati publik.

Politik adalah seni menyelamatkan kepentingan, yakni kekuasaan. Budaya ini sudah berlangsung sejak zaman Yunani kuno.

Pemikiran politik Machiavelli mengajarkan bagaimana kekuasaan diraih dan dipertahankan. Yang kuat menindas yang lemah. Membunuh sebelum dibunuh.

Sumber kekuasaan bagi Machiavelli adalah negara. Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Maka, menurut teori Machiavelli, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu, dan menindas. 

Kekuasaan diperlukan untuk mempertahankan kedudukan dan menguasai sumber daya. Di dalamnya termasuk semua jabatan politik dan birokrasi. 

Jadi, kalau mengacu teori Machiavelli, tidak aneh jika kemudian ada oknum pejabat atau aktor politik yang mati-matian mempertahankan jabatan, termasuk dengan berbohong dan mengorbankan pihak lainnya. Harus diingat, dalam pertempuran itu rakyatlah yang selalu menanggung risiko, siapapun yang kalah atau menang.

DPRA adalah arena politik. Kalau kemarin malam pimpinan lembaga legislatif itu berbicara dalam nada tinggi, meledak-ledak, seakan mau menerkam seseorang, itu belum seberapa jika kita mengacu teori Machiavelli. Karena teori itu membenarkan pelakunya untuk berbohong atau menindas.

Kita tentu saja tidak punya alasan menuduh ketua DPRA tidak sungguh-sungguh menjalankan fungsinya. Semoga saja itu benar. 

Tapi, sebagai rakyat yang selalu menjadi obyek permainan politik, kita juga tidak boleh terlalu larut. Makanya perlu pikiran sadar. 

Ibarat menonton sinetron atau sandiwara “Sinar Jeumpa”, kita selalu harus ingat, bahwa di dalam panggung itu sudah ada peran masing-masing.

Ada aktor yang perannya antagonis; bawaannya marah-marah saja. Ada pula yang simpatik, bak ustadz yang sejuk.

Di sudut lain, ada yang tugasnya cuma menarik dan menurunkan layar agar penonton tidak melihat suasana para pemain ketika di belakang layar. 

Jadi, peran tukang jaga layar juga sangat penting. Kalau tidak, adegan Cut Maruhoi ketika tampil nanti tidak menarik lagi kalau penonton sudah tahu bahwa di belakang layar mereka baik-baik saja.

Begitulah adegan di panggung politik. Semua punya peran masing-masing. 

Masyarakat Aceh juga punya istilah yang menarik untuk menggambarkan seni peran tersebut, yakni China saboh geudong. Kenapa menggunakan kata China? Ini sama sekali tidak bermaksud rasis. Sama sekali tidak!

Penggunaan kata China dalam konteks ini lebih dikaitkan dengan permasalahan bahasa. Orang Aceh pasti tidak mengerti bahasa “China”, maksudnya bahasa atau simbol-simbol yang digunakan oleh mereka yang bermain sandiwara.

Ibarat dalam kisah sandiwara, hanya sutradara, aktor, dan pemain yang mengerti peran masing-masing. Ketika skenarionya menyuruh mereka berkelahi, ya … mereka memerankannya dengan baik.

Bahkan, mereka juga berlatih seni menangis, sehingga ketika diminta memerankan kesedihan, para aktor bisa memerankannya dengan sempurna.

Tapi, setelah semua adegan selesai, siap terima honor, mereka kembali bersatu. Itulah makna China saboh geudong. Walaupun tadi mereka terlihat berkelahi, tapi setelah kembali ke habitatnya, mereka adalah sebuah komunitas atau tim yang solid untuk besok bermain sandiwara lagi. 

Lalu, apakah ribut-ribut kritik ketua DPRA terkait SK abal-abal Sekda Alhudri itu hanya drama atau sandiwara ala Sinar Jeumpa?

Kalau mengacu teori Machiavelli, bisa jadi mereka adalah China saboh geudong. Tapi, kita tentu saja tidak boleh menyimpulkan demikian. “Harus positive thinking,” kata orang-orang kota.

Bisa jadi juga Abang Samalanga dan anggota DPRA lainnya benar-benar sedang menjalankan fungsi kontrolnya.

Tulisan ini juga tidak bermaksud memprovokasi. Ia hanya semacam kritik penyeimbang dari pilar keempat demokrasi.

Hanya waktu yang akan membuktikan kemudian. Apakah semua sesuai dengan apa yang diucapkan atau mereka sedang memainkan peran masing-masing. Semoga saja mereka bukan China saboh geudong!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *