Opini  

Ambisi Menantu Jokowi Kuasai 4 Pulau Aceh

Avatar photo
Ilustrasi (foto: AI)

Bobby Nasution, menantu bekas presiden Jokowi, memiliki ambisi yang sama seperti mertuanya. Tanpa beban dan rasa malu, dia datang menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf.

Di pendopo gubernur, Rabu 4 Juni 2025, ia menyatakan keinginan untuk tetap bisa mengelola 4 pulau milik Aceh yang telah dirampas Pusat dan dicatat sebagai wilayah Sumut.  

Iklan

Keputusan mendadak Kementerian Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 tanggal 25 April 2025 itu memang tergolong misterius. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba mereka mengubah status administrasi empat pulau di Aceh Singkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Padahal, sejumlah data faktual dan dokumen sejarah membuktikan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek adalah milik Aceh.

Kemudian bukti historis dan legal berupa peta TNI AD Tahun 1978. Dokumen ini merupakan salah satu dasar paling kuat yang menegaskan keabsahan kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut. Peta itu diterbitkan oleh Badan Topografi Angkatan Darat Republik Indonesia. Sehingga, dalam peta resmi militer ini, keempat pulau tersebut ditandai secara jelas sebagai bagian dari administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

Peta ini disusun berdasarkan kajian geospasial, pertimbangan keamanan nasional, dan kondisi faktual pada masa itu, menjadikannya dokumen otoritatif dalam persoalan batas wilayah. Berbagai bukti lainnya seperti dipertegas dengan bentuk tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015. Makanya, Pemerintah Aceh telah menunjukkan berbagai bukti fisik hingga Peta Kesepakatan 1992 yang disetujui bersama secara bertanggung jawab secara administratif pemerintahan.

Terhadap berbagai bukti konkrit yang terus disajikan secara akademik, ilmiah, peraturan serta catatan dari perjanjian damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005, dimana batas Aceh wilayah kembali kepada batas wilayah Aceh tahun 1956 (prasasti perbatan Aceh-Sumut berada di Tandem Bijai meluncur sampai ke Tanah Karo). Kesepakatan pemeritah Aceh telah menunjukkan berbagai bukti fisik hingga Peta Kesepakatan 1992, yang disetujui bersama secara bertanggung jawab secara administratif pemerintahan.

Selain itu, Bobby sendiri pernah mengemukakan, bahwa

penetapan 4 pulau di Aceh masuk wilayah Sumut bukan usulan pihaknya tapi murni keputusan Mendagri. Artinya, Sumut tidak punya kepentingan untuk menguasai pulau-pulau itu.

Kalau ucapan Bobby benar, berarti ada kekuatan besar yang bermain. Publik menduga, pola permainan itu tidak jauh-jauh dari aksi penguasa yang yang selama ini suka berbuat sesuka hati, seperti kasus pagar laut, penjualan pasir, dan lain-lain.

Setelah permasalahan ini semakin memanas, Bobby datang ke Banda Aceh untuk menemui Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem. Tanpa sungkan, dia menyampaikan keinginan yang bernada konyol untuk tetap bisa mengelola bersama keempat pulau yang kini jadi sengketa.

Narasi “mengelola bersama” yang diutarakan Bobby benar-benar terdengar konyol dan tidak waras. Menantu Jokowi sedang mempertontonkan kebiadaban dan pengkhiatan yang nyata.

Mengikuti gaya “kolonialisme”, dia seolah-olah menjadi pahlawan kesiangan. Jika merujuk versi pengkhinatan di Aceh dalam berbagai even pertaruhan, perang, konflik yang acapkali Aceh dibohongi sejak dahulu kala, maka ada pengkhianatan zaman modern dari periode ke periode di Aceh dikenal dengan istilah “cuwak”. Karena selama ini sudah sangat nikmat, rakus, tamak dengan berbagai balutan gaya menawarkan “pengelolaan bersama” terhadap keempat pulau tersebut.

Sudah terlalu banyak janji, pengkhianatan serta narasi seolah-olah sebagai jalan tengah dan berbaik-baik yang mudah diterima oleh Aceh. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Aceh terlalu sering jadi korban kebohongan pemerintah Pusat. Pejabat pusat datang ke Aceh mengiming-imingi janji. Tapi nyatanya mereka adalah penipu.

Bukti sudah banyak. Sumber daya alam serta sumber daya ekonomi Aceh dikuasai Sumatera Utara, baik hasil alam nabati, hewani (flora-fauna), termasuk berbagai sumber daya aquatic, hasil laut dan perikanan darat. Hal yang sangat miris gas alam yang dieksploitasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara, lalu, dialirkan ke Sumatera Utara. Selama ini selalu dibangun narasi bahwa gas alam Aceh di Arun sudah habis dan atau cadangannya menipis. Akan tetapi, dengan modal miliaran rupiah mereka membangun pipa penyaluran. Secara logika dan feasibility study, sangat tidak masuk akal membangun jaringan pipa jika tidak menguntungkan.

Demikian juga, akal-akalan lainnya dengan membangun stigma yang buruk tentang Aceh dan alasan keamanan serta zona ekonomi eksklusif (ZEE), maka bahan dasar serta resources Aceh dikelola dan menjadi milik Pemerintah Pusat Jakarta dan aliran produksinya ke Sumatera Utara. Termasuk persiapan untuk penemuan gas di blok Andaman serta Simeulue yang sudah dipersiapkan untuk dikuasai oleh negara Indonesia berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Panca Sila sebagai dasar negara. Maka, praktik menguasai sumber daya alam dengan tidak jauh berbeda berdasarkan catatan sejarah, menggunakan sumber daya alam dan ekonomi melaksanakan “kolonioalisme” secara terstruktur, sistematis dan massif.

Pemerintah Aceh dan elite politik, birokrasi, dan petinggi di Aceh, jangan mudah percaya. Apa yang dilakukan oleh menantu Jokowi itu tidak lebih sebagai jalan masuk untuk penipuan yang berulang, narasi yang dibangun seolah-olah manfaat atau keuntungan bersama, selanjutnya dengan menggunakan kekuatan politik dan kekuasaan negara dapat dipastikan nanti sepenuhnya akan dikuasai Sumatera Utara sebagai daerah terdekat untuk mempengaruhi Aceh.

Semua tipu daya ini mesti dipahami dan sudah berulang kali Aceh dikhianati dilakukan terhadap Aceh. Termasuk orang, elite politik, birokjrasi dan politisi Aceh, ini dalam rangka mendukung praktik kolonialisme terhadap Aceh, yang merupakan strategi menaklukkan Aceh secara diplomatis, disamping nantinya akan adanya kekerasan politik, verbal, tipu-daya jika kawasan dan tanah Aceh sudah dikuasai.[]

Dr. Taufik Abd Rahim; akademisi dan pengamat kebijakan publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *