JAUH hari sudah muncul kekhawatiran di kalangan pengamat politik lokal di Aceh, bahwa pengajuan satu nama calon Pj gubernur memiliki risiko fatal. Meski rekomendasi DPRA itu hanya “basa-basi” politik-birokrasi di era sekarang ini, para elit di Dewan Perwakilan seyogiyanya juga mesti punya ketajaman dalam menangkap “sinyal” dan menemukan frekuensi yang sesuai dalam melakukan komunikasi politik. Bek mat alee puntong (tidak melakukan kekonyolan, red).
Padahal, (secara ekpektasi) para anggota Dewan yang sekarang duduk di lembaga legislatif Aceh itu adalah para tokoh pilihan terbaik. Mereka adalah figur-figur yang memiliki kemampuan bernegosiasi yang hebat dibanding yang lainnya? Bukankah karena alasan itu mereka dipilih? Maka mereka duduk di sana dan diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk berbicara dan memperjuangkan nasib dan martabat Aceh agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Tapi, apa yang terjadi? Kali ini para tokoh yang dijadikan sandaran tempat digantungkannya harapan masyarakat itu sedang dirundung nestapa. Mungkin mereka sedang “berkabung” akibat salah perhitungan dan kalah dalam menyusun langkah-langah “bidak catur”di medan laga bernama dunia perpolitikan Aceh.
Padahal, jauh-jauh hari sudah diingatkan, bahwa keputusan mengajukan satu nama calon Pj gubernur itu bisa mempermalukan diri sendiri. Sekarang, kekhawatiran itu benar-benar terjadi. Nasi sudah jadi bubur. Ibarat satire dalam bahasa Aceh: DPRA benar-benar ditek-tek (cincang, red) atau roasting.
Kita tentu sulit membayangkan bagaimana suasana batin hubungan legislatif dan eksekutif selama setahun ke depan. Bagaimana cara mereka berkomunikasi ketika harus membicarakan program pembangunan Aceh setelah kejadian ini.
Kita juga tidak sanggup menduga-duga beban psikologis yang harus ditanggung oleh Sekda Bustami Hamzah setelah dia dijadikan “putra mahkota” oleh DPRA. Posisi yang semula, mungkin, memberi dia sanjungan yang kini justeru menghempaskannya berkeping-keping.
Apa pun yang terjadi hari ini, inilah sebuah episode perjalanan sejarah Aceh di era kepemimpinan nasional saat ini. Suasana Aceh dengan nuansa kebatinan yang melenceng jauh dari apa yang pernah ditulis dalam sejarah dengan selaksa kehebatan-kehebatan itu.
Mungkin juga, itulah penggalan sejarah yang harus ditulis hari ini. Tentang siapa kita, tentang apa yang sudah kita lakukan dan apa yang sedang kita persiapkan untuk masa depan.
Masihkah kita terus berpura-pura dan merasa semua baik-baik saja? Sudah ditek-tek tapi masih merasa seperti tidak ada kejadian apa-apa.[]