IBARAT mengaduk bubur basi di dalam cawan emas, lalu memamerkannya di dalam sebuah etalase. Begitulah para buzzer Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh memperlakukan angka persentase kelulusan siswa pada Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) tahun ini.
Mereka terus melukis dan tak henti mengutak-atik angka itu dalam desain grafis agar terlihat indah dan memesona. Tujunnya untuk apa?
Pekerjaan yang terus diulang-ulang selama Alhudri memimpin Disdik Aceh itu tidak lain adalah untuk tujuan mengelabui publik. Mereka hendak membuat pembenaran bahwa mutu pendidikan Aceh sudah meningkat. Dengan cara itu mereka ingin mengirim pesan ke publik, bahwa Alhudri — yang tidak menguasai tupoksi — telah berhasil meningkatkan mutu pendidikan.
Sebetulnya, banyak lagi argumentasi untuk membantah klaim menyesatkan tersebut. Misalnya, ketika melihat proses pembelajaran di lapangan. Bagaimana mungkin menghasilkan sebuah prestasi ketika banyak jabatan kepala sekolah yang lowong. Apakah bisa secara sekonyong-konyong muncul prestasi dari sekolah yang berjalan secara autopilot?
Desain grafis bikinan Disdik Aceh (foto: tangkapan layar)
Di tengah situasi pendidikan yang tidak ideal itu, kenapa para pendengung terus membuat branding Untuk apa?
Tujuan akhir dari semua itu tentu saja agar sang junjungan tetap di singgasana, tidak dicopot dari jabatan Kadisdik. Sehingga, mereka tetap aman menerima jatah cuan bulanan.
Para pendengung hanya punya target sebatas itu, hanya mengejar honor. Mereka tidak malu ketika disuruh “menggonggong” meskipun apa yang mereka teriakkan itu merupakan sebuah kekeliruan.
Di situlah letak kelemahan ketika top pimpinan tidak menguasai permasalahan. Dia tidak tahu harus bagaimana mengarahkan bawahan. Itu sebabnya, regulasi melarang ASN yang tidak punya kapasitas menduduki jabatan yang bukan bidangnya.
Penempatan seseorang pada jabatan tertentu (Undang-Undang No 5 tahun 2014) harus berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan (tanpa diskriminasi).
Alhudri tidak mengetahui substansi pendidikan, bahkan untuk masalah yang sangat sepele seperti membedakan antara persentase kelulusan dan persoalan mutu. Dia tidak mampu memahami itu, karena memang tidak mendalami substansi tugas.
Celakanya, setelah tidak paham, dia merekrut pula “spesies” yang sama dengan dia sebagai tim kerja. Makanya terjadilah kesalahan berjamaah. Akhirnya, energi banyak tersita untuk hal-hal yang tidak penting-penting amat, seperti membuat desain grafis kelulusan SNBP untuk menipu publik seakan-akan pendidikan sudah berkualitas.
Angka kelulusan lewat jalur ini yang diklaim sebagai prestasi oleh Alhudri sebenarnya bukan barang baru. Hal yang sama sudah terjadi jauh-jauh hari ketika Disdik dipimpin orang lain. Ketika di tangan Rahmat Fitri, pun, pencapaiannya juga pernah berada di urutan 5 nasional.
Hanya saja, waktu itu, mereka biasa saja. Tidak ada euforia, karena gubernur yang berkuasa bukan orang satu kampung. Jadi, tidak ada perintah pasang iklan dan papan bunga untuk merayakan kesuksesan semu.
Mari kita cermati kenapa Aceh bisa memperoleh angka persentase tinggi sehingga selalu bisa berada di 10 besar nasional? Lagi-lagi harus diingat, ini sama sekali tidak punya korelasi dengan kompetensi lulusan.
Seperti dijelaskan oleh Dr Samsuardi, ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh, bahwa untuk mengukur berprestasi-tidaknya lulusan SMA bukan dilihat dari seleksi jalur SNBP. Karena lewat jalur ini, siswa Aceh tidak bersaing dengan anak-anak luar. Mereka masuk PTN tanpa harus susah-susah karena lembaga tersebut ada di “belakang rumah” mereka. Artinya, mereka lulus di PTN lokal.
Tanpa bermaksud merendahkan mutu PTN lokal, seleksi yang terjadi di sini memang tidak begitu tajam. Karena PTN lokal yang jumlahnya mencapai 6 unit itu memberlakukan pembobotan yang tidak terlalu tinggi. Kenapa hal itu dilakukan, karena mereka butuh mahasiswa baru. Kalau terlalu ketat, bisa-bisa PTN tersebut tidak punya mahasiswa dan akhirnya terancam tutup.
Sebagai perbandingan, Aceh dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa memiliki 6 PTN. Sedangkan Sumatera Utara dengan jumlah penduduk dua kali lipat dari Aceh hanya memiliki 3 PTN.
Persentase kelulusan pada SNBP itu hanya bertujuan untuk melihat angka partisipasi siswa yang mengakses pendidikan tinggi. Artinya, bukan parameter untuk memperbandingkan prestasi kelulusan siswa Aceh dengan provinsi lain. Prestasi dalam konteks ini pun berangkat dari angka-angka di buku rapor yang juga rentan dicurangi.
Kualitas kelulusan siswa, secara fair akan terlihat pada nilai tes masuk PTN lewat seleksi Ujian Tes Berbasis Komputer (UTBK). Dari sini baru terlihat skor rata-rata siswa Aceh, apakah mereka masih unggul ketika disandingkan dengan nilai siswa provinsi lain?
Sebagai perbandingan, lihatlah publikasi hasil seleksi lewat jalur UTBK–SBMPTN tahun 2021, 2022 dan 2023. Kelulusan siswa Aceh justeru terlihat memprihatinkan. Anak-anak aceh tidak bisa bicara banyak lewat jalur ini. Prestasi mereka terus anjlok ke urutan paling bawah nasional.
Prestasi Aceh bahkan kalah jauh dibandingkan anak-anak Provinsi Bengkulu yang nilai rata-rata mereka berada di peringkat 13 nasional (TKA Saintek 490.10 point), sedangkan Aceh di peringkat 27 dari 34 provinsi Indonesia (TKA Saintek 478.51 point).
Itu artinya, mutu pendidikan Aceh selama dipimpin Alhudri memang payah. Jadi, jangan lagi membuat desain grafis untuk mengelabui. Jika tidak paham, diam saja. Jangan memaksakan publik untuk ikut bodoh!