SOAL mutu pendidikan Aceh (khusus jenjang SMA sederajat) menjadi perdebatan sengit selama beberapa tahun belakangan. “Pertengkaran” keras sangat terasa pada tiga tahun terakhir ketika Dinas Pendidikan (Disdik) dipimpin oleh Alhudri.
Kenapa bisa demikian?
Sebenarnya bukan semata karena faktor dia mantan camat, bukan birokrat yang punya background mengurus instansi pendidikan. Pada episode sebelumnya, Disdik juga dipimpin oleh sosok dengan latar belakang yang sama; mantan camat.
Sekarang pun tidak jauh beda. Marthunis, kabarnya, punya basic sarjana kelautan. Tapi, kenapa hanya kepemimpinan Alhudri yang sangat menimbulkan kegaduhan?
Mari kita buka jejak digital. Kegaduhan pertama, karena dia — yang tidak menguasai basic permasalahan pendidikan — mengangkat para pembantunya dari golongan yang sama. Yakni, mereka yang sama-sama tidak paham permasalahan pendidikan. Contohnya, dua posisi yang sangat strategis: Sekretaris Disdik (Sekdis) Fachrial dan Kepala Bidang Sarana/Prasarana Pendidikan (Kabid Sarpras) Sya’baniar.
Sekdis merupakan sarjana peternakan. Pejabat ini dibawa dari Dinas Sosial, tempat tugas Alhudri sebelumnya. “Setali tiga uang” dengan Sekdis, Sya’baniar juga sama. Pegawai yang memulai karier sebagai petugas security atau Satpam di kantor asalnya.
Salah rekrut tidak hanya terjadi pada level pejabat. Alhudri juga memasang tenaga ahli berlatar belakang LSM yang sekaligus difungsikan sebagai “”centeng””. Demikian pula dengan tenaga kontrak (pegawai honorer). Selain banyak yang tidak masuk kantor, ada pula yang berlatar belakang aneh-aneh, seperti S2 kenotariatan yang sama sekali tidak punya korelasi dengan tugas Disdik.
Diduga karena tak paham masalah, akhirnya, kinerja Disdik selama tiga tahun terakhir jalan di tempat. Tapi, publik selalu dicekoki dengan pepesan kosong publikasi persentase kelulusan siswa di perguruan tinggi negeri (PTN).
Pencitraan seperti itu terus diulang-ulang untuk menampilkan kesan seolah-olah dia sudah berhasil menaikkan mutu pendidikan. Padahal tidak demikian. Karena data yang disajikan dalam desain grafis juga sama seperti kondisi tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, pemikiran-pemikiran alternatif yang disumbang dari kampus tak dihargainya. Akhirnya, sibuk membuat pembelaan diri dengan mengerahkan para buzzer.
Itulah beberapa gambaran masalah yang ditinggalkan oleh pendahulu Marthunis, khususnya soal SDM. Permasalahan ini pasti tidak sederhana. Ia justeru bisa menjadi batu sandungan yang akan menghadang Marthunis melakukan upaya perbaikan kinerja Disdik.
Karena itu, Kadisdik Marthunis harus lebih dulu membersihkan para “benalu” yang selama ini menggerogoti Disdik. Ia harus berani menyingkirkan para penjilat dan oknum pejabat yang dipromosikan bukan karena prestasi atau rekam jejak yang baik. Oknum kepala bidang dan pejabat lainnya yang merasa seperti anak raja, arogan, dan kerap mengeluarkan ancaman, sudah waktunya dicarikan tempat lain untuk mereka.
Disdik adalah instansi yang mempunyai tugas mulia, yakni mencerdaskan anak bangsa dan mewariskan akhlak mulia. Mereka yang punya karakter buruk tidak cocok berada di situ.
Core tugas Disdik adalah siswa; pembelajaran. Karena itu, fokusnya adalah bagaimana menjadikan proses belajar mengajar berkualitas. Ini bisa diwujudkan oleh iklim belajar yang nyaman didukung guru berkualitas dan rajin, kepala sekolah yang punya totalitas, serta berjalannya fungsi supervisi oleh pengawas sekolah. Itu!