KEMATIAN Imam Masykur adalah duka bagi semua bangsa Aceh. Tak terkecuali. Bahkan, di sanubari kemanusiaan keluarga pelaku, mungkin, rasa yang sama juga ada.
Semua berduka. Semua merasakan kekejaman dan tidak bisa menerima sadisme itu. Apapun pembenarannya!
Imam telah pergi untuk selamanya. Doa rakyat Aceh dan semua pihak yang berempati akan meringankan jalannya, apa lagi anak muda ini meninggal dalam kondisi teraniaya. Pasti dia mendapatkan ganjaran pahala syahid. Semoga Allah SWT memberikan tempat terindah di sisi-Nya.
Memang tidak ada bukti, apa lagi korelasinya. Usai kepergian Imam muncul cerita-cerita miring tentang kiprah anak muda asal Aceh di ibu kota yang mengaitkan mereka dengan bisnis penjualan obat-obatan terlarang seperti Tramadol.
Cerita itu, seperti diungkapkan mantan anggota Komisi III DPR RI, Sayed Muhammad Muliady, menyeret (dugaan) keterlibatan oknum aparat di belakang para pelaku yang disebutnya mafia.
Cerita tambah seru ketika “serangan” menohok pihak tertentu. Yang merasa dituding pun jadi kebakaran jenggot. Maka, terjadilah aksi “berbalas pantun”.
Mungkin cerita Bang Sayed — panggilan politisi muda ini — banyak benarnya. Sebab, selama ini, Aceh memang terlanjur populer dengan narkoba, mulai soal ganja sejak puluhan tahun lalu hingga cerita soal sabu-sabu belakangan ini. Banyak pelaku yang ditangkap.
Terakhir yang sangat menghebohkan adalah penangkapan seorang wanita asal Bireuen yang disebut ratu narkoba berinisial N. Wanita ini disebut merupakan jaringan narkoba internasional. Tak tanggung-tanggung, N ditangkap dengan barang bukti 52 kg sabu dan 70 kotak rolex berisi 323.822 butir ekstasi
Di luar debat panas soal mafia Tramadol dan aneka narkoba yang dikaitkan dengan Aceh membuktikan dua hal. Pertama, penegakan syariat Islam di Aceh, sejak lama belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Kedua, pengambil kebijakan daerah ini, terutama sejak dua dekade terakhir, tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Aceh memang miskin. Rakyatnya yang miskin. Para elitnya, tidak. Mereka sibuk dengan ambisinya berebut (tahta) kekuasaan.
Elit politik dan birokrasinya hanya pandai beretorika. Kemampuan mereka yang menonjol lainnya adalah menguasai sumber daya untuk kepentingan sendiri, kelompok, dan sanak keluarganya.
Aceh punya dana otonomi khusus (Otsus) yang tidak kecil jumlahnya. Tapi setiap tahun dana besar itu bagai menguap entah kemana. Anggota DPRA menjadikannya sebagai banjakan, “dibagi-bagi” untuk mereka sendiri melalui skema yang disebut dana aspirasi.
Anehnya, prilaku menyimpang yang sangat telanjang itu dianggap sebagai hal yang biasa saja. Mereka bangga naik mobil mewah saat mengunjungi rakyat yang menderita, yang tinggal di gubuk-gubuk reot, yang susah mengakses sumber ekonomi karena kebijakan yang disusun tidak memihak kepada mereka.
Karena program pembangunan hanya berkutat membangun pagar dan menimbun halaman sekolah, bukan membangun irigasi atau fasilitas penunjang ekonomi lainnya, jurang kemiskinan semakin bertambah parah.
Salah satu akibatnya, anak muda Aceh lari ke luar daerah karena tidak sanggup menahan dihimpit kemiskinan. Mereka, misalnya, mencoba peruntungan ke kota-kota lain, daerah yang tidak memiliki dana otsus: Medan, Jakarta, atau kota-kota lainnya.
Miris. Pihak-pihak lain, bahkan ada yang berasal dari luar, datang ke Aceh untuk mencicipi gurihnya dana otsus. Anak bangsa sendiri harus terusir dari negerinya, bahkan sampai harus bertarung nyawa untuk mencari sesuap nasi di luar sana.
Coba buka mata dan lihat, siapa yang menikmati dana otsus?
Kenapa kenyataan miris ini bisa terjadi? Semua karena kemunafikan. Aceh tidak mau memperbaiki diri, tidak kunjung berbenah. Sekarang siapa yang mau peduli saat daerah ini berada di dalam genggaman kekuasaan orang luar?
Saat dipimpin putra Aceh sendiri, kebijakan yang dibuat tak memihak rakyat. Konon lagi saat ini, saat kekuasaan berada di tangan orang lain.[]