WAKIL rakyat di DPR Aceh, pada mulanya, menaruh harapan di pundak Pj Gubernur Achmad Marzuki. Problem utama yang mewarnai pikiran mereka, waktu itu, adalah buruknya relasi kelembagaan eksekutif-legislatif. Makanya, para wakil rakyat meminta agar Achmad Marzuki selaku Pj gubernur segera membenahi birokrasi Aceh.
Yang diminta untuk segera dilakukan, waktu itu, adalah agar Achmad Marzuki segera mengganti Sekda Taqwallah. Anggota Dewan juga sempat menyebut nama beberapa kepala SKPA agar secepatnya dimutasi. Tapi, permintaan terakhir tak digubris Achmad Marzuki.
Memang benar, permintaan pergantian Sekda tidak lama terjawab. Entah bagaimana ceritanya, Bustami Hamzah yang sebelumnya menghilang dari “dunia persilatan” birokrasi Aceh sekonyong-konyong dilantik jadi Sekda menggantikan Taqwallah. Orang tidak begitu mempermasalahkannya, apakah proses pengangkatan itu sesuai aturan atau tidak? Yang penting sebuah masalah sudah pergi.
Memang benar, ada keinginan yang boleh dikatakan bersifat massif yang menghendaki agar Taqwallah segera diganti. Sebuah keinginan yang sebelumnya menjadi sebuah kemustahilan di masa kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah.
Nah, setelah Nova dan Taqwa pergi, sebenarnya masih ada pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya tuntas. Sebab, birokrasi Aceh yang sebelumnya dipimpin oleh duet Nova-Taqwa diisi oleh figur-figur yang dinilai tidak mampu bekerja. Karena itulah, DPR Aceh sempat mengeluarkan rekomendasi agar Pj gubernur melakukan mutasi terhadap mereka yang dinilai tidak becus tersebut.
Salah satu bukti yang sering disebut adalah tingginya angka SiLPA setiap tahun yang berkolerasi dengan angka pengangguran dan kemiskinan. Selama bertahun-tahun daerah ini menjadi langganan juara provinsi termiskin. Penyebabnya, ya itu tadi, pimpinan birokrasi yang lemah, tidak mampu bekerja.
Lama juga rekomendasi wakil rakyat seperti terabaikan. Di penghujung masa satu tahun menjabat Pj gubernur, Achmad Marzuki baru melakukan tahapan mutasi. Hal itu ditandai dengan dibentuk dan bekerjanya Pansel Evaluasi dan Uji Kompetensi terhadap 34 pejabat eselon II. Tim yang diketuai mantan Sekda Teuku Setia Budi sudah selesai melaksanakn tugas sejak lama. Mungkin sejak Mei 2023 lalu.
Sepekan lagi, tepatnya 6 Juli 2023, genap satu tahun kepemimpinan Achmad Marzuki sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Aceh. Tapi, hasil kerja tim pansel yang sudah melaksanakan evaluasi dan uji kompetensi terhadap 34 pejabat eselon II tidak juga jelas nasibnya. Bagaimana nasib belasan (mungkin juga puluhan) jabatan eselon II yang kini kosong tak ada yang peduli. Padahal, kinerja Dinas atau SKPA itu berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Tidak ada yang peduli. Konon lagi, di tengah suasana batin birokrasi Aceh yang kini sijuek-seu-um (panas-dingin, red), setelah DPRA hanya mengusulkan nama Sekda Bustami Hamzah sebagai calon Pj gubernur. Sulit diprediksi, apakah semua berada dalam kondisi baik-baik saja?
Pelantikan kepala SKPA atau pejabat eselon II saja yang prosesnya sudah berjalan, tidak jelas penyelesaiannya. Bagaimana pula tugas-tugas yang berkaitan dengan nasib rakyat? Mungkin memang tidak ada yang punya waktu untuk berpikir. Mungkin, karena memang tidak ada kepentingannya. “Emang gue pikirin?” meminjam istilah “orang Jakarta”.[]