7 Alasan Kenapa Harus Ganti Sekda

DESAKAN pergantian Sekda Aceh, Taqwallah, telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat Aceh selama setahun terakhir, terutama kalangan anggota DPRA. Aspirasi tersebut semakin menguat setelah Nova Iriansyah lengser dan digantikan oleh Pj Gubernur Achmad Marzuki.

Sebelumnya, aspirasi itu seakan sempat tenggelam. Bukan hilang. Publik merasa jengah. Karena Nova tidak menggubris sedikit pun harapan masyarakat. Dia terlalu “intim” dengan pasangannya tersebut. Sangat kompak dalam berbagai hal. Termasuk rapi dalam menyusun perencanaan anggaran, seperti merancang anggaran siluman dengan kode appendix. 

Mungkin itu sebabnya, desakan ganti Sekda agak mengendur beberapa saat menjelang Nova pergi. Masyarakat Aceh, mungkin, juga malas membuang-buang energi. Karena, mereka terlanjur sangat memahami tabiat Nova yang tidak mendengar sama sekali aspirasi publik. Nova terlalu angkuh.

Bagi dia, juga terlalu gampang dan biasa untuk mengesampingkan kepentingan umum. Bisa dibuktikan dalam sejumlah kasus. Sebagai contoh saja. Penetapan lokasi PON yang mandeg di tangan Nova. Dia tidak mau menandatangani surat penetapan lokasi PON Aceh, sehingga sampai hari ini permasalahan tersebut belum tuntas.

Contoh lain, dia menunda-nunda menandatangani rekomendasi pelepasan tanah untuk pengembangan kampus II Unsyiah  (baru ditandatangani pada malam terakhir dia menjabat), dll.
Setelah Nova pergi, muncul harapan baru di tengah masyarakat. Kehadiran Pj Gubernur Achmad Marzuki diharapkan bakal memberi perubahan penting dalam ranah birokrasi Aceh.

Sebagai birokrat tulen, seperti kata Mendagri, mantan Pangdam Iskandar Muda itu tidak bersentuhan dengan partai politik. Karena itu ia akan leluasa membuat keputusan. Tidak tersandera dengan kepentingan politik, semisal, maju pilkada atau urusan transaksional lainnya.

Karena itulah, harapan agar Taqwallah diganti kembali menggema setelah Achmad Marzuki hadir.
Tantangan memang selalu ada. Apa lagi untuk sebuah perjuangan mulia, seperti cita-cita menghadirkan pemerintahan yang bersih dan melayani.

Di tengah muncul aspirasi ganti Sekda, mengemuka pula pemikiran berbeda dari segelintir orang. Sepintas, kadang-kadang, narasi yang dibangun oleh kelompok ini terdengar logis. Meskipun, samar-samar terlihat kepentingan pragmatisme sempit di belakangnya.

Satu contoh. Ada pernyataan yang menyebut bahwa “tugas Pj gubernur melaksanakan pembangunan. Bukan ganti Sekda”. Pernyataan ini seperti hendak menggiring opini masyarakat agar tidak mendukung aspirasi ganti Sekda.

(Bro, bagaimana melaksanakan pembangunan, kalau Sekda yang ketua TAPA kerjanya tak becus? Setiap tahun hanya memperbanyak SILPA).

Argumentasi di atas tadi sah-sah saja di alam demokrasi. Siapa saja bebas berpendapat. Seperti halnya orang lain bebas bertanya, kemana orang ini sebelumnya? Kenapa baru lantang bersuara sekarang? Padahal aspirasi ganti Sekda sudah digaungkan sejak Nova masih berkuasa!

Daripada larut dalam debat kusir, mari mendiskusikan aspirasi ini dengan fakta dan logika. Ayo kita bedah, apa argumentasi logisnya? Berikut 7 fakta kenapa Taqwa harus diganti:
1.  Otoriter; tidak melimpahkan kewenangan kepada kepala SKPA.
2.  Tidak memfungsikan manajemen, sehingga semua tugas harus menunggu keputusan dari dia. (Contohnya kegiatan bagi-bagi SK. Padahal tugas ini cukup dilakukan oleh pejabat eselon IV atau staf saja. Bahkan selesai dengan mengirimkannya saja. Tidak perlu memobilisir banyak orang sehingga boros dana perjalanan dinas).
3.  Komunikasi buruk (contoh: pernah mengeluarkan kata-kata kasar “makan gaji buta kamu” kepada kepala sekolah yang tidak mencapai target vaksinasi di Gayo Lues).
4.  Pendendam/suka mengancam. (Contoh: mengancam dengan kalimat dia mempunyai banyak “simpang” jika kepala sekolah tidak mengejar target vaksin siswa. Dia bisa menahan kenaikan pangkat, menyetop dana BOS, dan lain-lain.)

5.  Rentan melakukan pelanggaran dalam penganggaran (Contoh kasus penggunaan dana refocusing untuk pos-pos di luar penanganan Covid-19. Penggunaan dana Otsus untuk pembelian mobil dinas (melanggar qanun) 6.  Tidak menerapkan merit system dalam melakukan mutasi pejabat.
7.  Sudah menjabat lebih dari 2,5 tahun.

Itu baru sebagian kecil saja. Cara lain juga mudah untuk mengetahui secara ril aspirasi ganti Sekda. Buat saja survei tertutup. Coba ditanyakan kepada seluruh ASN Aceh, berapa orang yang masih menginginkan dia sebagai Sekda? Tapi, tentu saja harus dilakukan secara obyektif. Karena, sudah pasti tidak ada ASN yang berani bicara jujur karena berisiko berhadapan dengan Taqwallah yang otoriter..

Akhirnya, semua memang terpulang pada Pj gubernur. Apakah mau mendengarkan aspirasi masyarakat banyak atau mengakomodir keinginan segelintir pihak?

Setidaknya, mereka telah berupaya. Berusaha memperjuangkan Aceh bebas dari cara-cara kerja yang primitif, penuh ancaman, dan otoriter.

Para ASN, juga, tentu merindukan bisa bekerja dalam suasana penuh ketenangan. Bisa berkonsentrasi dan melayani dengan baik. Tanpa dihantui ketakutan, sebentar-bentar kena mutasi.[]

ancaman stop dana BOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *