KabarAktual.id – Publik terkesima menyaksikan gebrakan Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA yang membuka data calon penerima rumah layak huni (RLH) tahun 2025. Setelah itu, banyak acungan jempol tatkala Safrizal melakukan verifikasi dengan mendatangi langsung calon penerima bantuan ke lapangan.
Publik merasa tertegun melihat gebrakan tersebut karena sebelumnya belum pernah dilakukan Pemerintah Aceh. Penyaluran rumah bantuan selama ini terjadi secara diam-diam. Datanya tidak pernah diungkap ke publik sehingga rentan salah sasaran.
Faktor itulah yang membuat masyarakat berdecak kagum, sehingga melupakan substansi dari verifikasi calon penerima rumah bantuan yang dilakukan Safrizal. Dinilai ada yang keliru di sana.
Di mata Pengamat Kebijakan Publik, Dr Taufik Abd Rahim, langkah Safrizal itu justeru merupakan kekeliruan fatal. Apa yang dilakukan Safrizal, menurut Taufik, tidak lebih dari sekedar sensasi untuk mencari popularitas semata.
Taufik menjelaskan kepada KabarAktual.id, kunjungan kerja seorang pejabat negara (apalagi setingkat gubernur) memiliki aturan dan kerangka kinerja tersendiri. Karena itu, tidak mungkin dalam sebuah perjalanan dinas bisa melakukan pekerjaan yang butuh keseriusan ekstra.
Dikatakan, kegiatan verifikasi data adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dengan kelengkapan dokumen dan instrumen tertentu. “Apakah mungkin seorang gubernur atau pejabat eselon I meneliti berkas dan dokumen sebagai langkah dalam kegiatan verifikasi?” ucap Taufik dalam nada tanya, Rabu (22/1/2025) sore.
Karena itu, dia menyarankan agar Safrizal berhenti membodohi masyarakat. Kalau benar-benar mau serius melakukan verifikasi data calon penerima RLH, bentuk tim dan siapkan instrumen dengan benar. “Harus profesional, baru bisa disebut valid. Kalau datang cuma untuk selfi-selfi, bagaimana bisa memastikan bantuan tersebut tepat sasaran?” kejarnya lagi.
Taufik mengingatkan pejabat eselon I Kemendagri itu, sebaiknya kalau hanya untuk sekedar mengejar popularitas tidak semestinya dengan cara-cara yang membodohi seperti itu. Akibatnya, banyak warga yang seharusnya benar-benar layak mendapatkan bantuan luput dari perhatian karena Pj gubernur tidak sempat selfi di rumahnya.
Sebagai pejabat negara yang ditugaskan menjadi Pj Gubernur Aceh, sambungnya, Safrizal tidak perlu mengejar popularitas dengan menyertakan pewarta saat ke lapangan. Pencitraan itu akan mengubur permasalahan yang ril di lapangan, sebab kegiatan selfi-selfi itu akan dijadikan pembenaran oleh para pejabat bahwa penyaluran bantuan sudah diverifikasi bahkan langsung oleh gubernur. “Ini benar-benar pembodohan yang sangat konyol,” kecam Taufik.
Verifikasi data calon penerima RLH versi Pj gubernur itu, kata Taufik, dipastikan tidak valid hasilnya. Kegiatan itu lebih kepada sekedar hura-hura pejabat negara memanfaatkan fasilitas dan uang perjalanan dinas.
Ia mempertanyakan, apakah kegiatan itu sudah dirancang lengkap dengan dokumen pendukung, seperti instrumen dan sebagainya? Lalu, apakah ada tim independen yang akan melakukan analisis data?
Lalu, sambungnya, referensi apa yang digunakan sebagai rujukan data masyarakat miskin. “Apakah untuk kasus Aceh dengan jumlah penduduk miskin ratusan ribu akan representatif dengan hanya mengunjungi beberapa rumah saja? Lalu lahir kesimpulan layak mendapatkan rumah bantuan dhuafa?” tanya Taufik lagi.
Dia melanjutkan, apakah cukup dengan mendatangi beberapa rumah saja sudah membuktikan bahwa penerima ribuan rumah yang dibangun dengan APBA itu benar-benar bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)?
Sementara itu, mungkin banyak bahkan ratusan ribu masyarakat Aceh miskin tidak mendapatkan rumah serta bantuan, hanya karena tidak mendapatkan kunjungan verifikasi dari Pj gubernur. Mereka juga tidak kebagian selfi sehingga tidak punya cara pembuktian empirik.
Karena itu, ia menyarankan, jika Pj Gubernur Aceh yang juga pejabat eselon 1 Kemendagri itu serius, dia harus membentuk tim independen untuk melakukan verifikasi secara valid dengan menjunjung tinggi kaidah kinerja profesional. Sehingga, tidak dengan cara dan atau pola selfi yang hanya sekedar mengejar popularitas.
Taufik juga mengaku heran. Padahal Pj gubernur adalah ASN, birokrat, yang tidak berfikir politik. “Karena itu, tidak perlu mengejar popularitas dengan cara selfi sebagai laporan untuk atasan,” kata dia.
Ia mengingatkan lagi, jika pendekatan kinerja itu dilakukan dengan benar maka Pj gubernur harus meminta laporan dari hasil validasi yang dilakukan oleh tim. Harus akuntabel, berapa yang lolos, berapa yang tidak layak, dan seterusnya. “Hasilnya harus dibuka ke publik karena aktivitas yang dilakukan menggunakan fasilitas dan uang negara yang juga berasal dari rakyat,” sambungnya.
Taufik meminta pejabat Pusat tersebut agar tidak menggunakan pola “pemadam kebakaran” selama bertugas di tanah kelahiran, hanya sekedar “menyiramkan air” di tengah kehidupan masyarakat Aceh yang termiskin se-Sumatera.
Dalam verifikasi RLH itu, dia mempertanyakan, apa yang menjadi ukuran penilaian? Layak huni menurut standar siapa? “Masyarakat miskinkah dan atau hanya sekadar kriteria menurut perasaan Pj gubernur?” tanya akademisi ini.
Sementara, kegiatan itu tidak melibatkan kelompok ataupun masyarakat independen yang paham kondisi masyarakat miskin yang mesti mendapatkan bantuan rumah dhuafa. “Sehingga semua menjadi jelas dan transparan karena semua kegiatan menggunakan uang negara yang juga berasal dari rakyat,” pungkasnya.[]