DI APLIKASI perpesanan WhatsApp (WA), Minggu (27/8/2023) pagi, beredar sebuah flyer (meme). Selebaran itu memuat sejumlah kalimat yang secara eksplisit memberi dukungan moril untuk Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki. Terpampang pula dua foto penanggung jawab kegiatan di dalamnya.
Pada momen lain, bererapa hari lalu, tepatnya Jumat (18/8/2023) sore, Pj Gubernur Achmad Marzuki melakukan pertemuan khusus dengan jajaran Satpol PP dan WH Aceh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh. Pertemuan itu sangat khusus. Kenapa demikian?
Anjong Mon Mata, biasanya, dijadikan tempat penyelenggaraan acara-acara “kenegaraan” Pemerintah Aceh, seperti pelantikan kepala dinas atau pertemuan dengan menteri. Selain itu juga digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan berskala besar lainnya.
Hal itu menjadi indikasi bahwa pertemuan dengan Satpol PP adalah sesuatu yang sangat penting meskipun secara lahiriah, kemudian, pertemuan tersebut boleh diklaim ibarat “interaksi antara anak dan ayah”.
Seperti kata berita, dalam pertemuan tersebut, Pj gubernur “menjewer” Kasatpol PP Aceh Jalaluddin dan jajaran yang dinilainya berlebihan dalam melaksanakan tugas. Achmad Marzuki sampai mengingatkan, agar personil Satpol PP tidak menghadirkan suasana mencekam, sekan-akan seperti situasi perang, ketika melakukan razia warung kopi.
“Kalian itu bukan tentara. Kenapa mesti pakek rompi dan helm khusus ketika menghadapi masyarakat? Seperti suasana perang saja. Harus humanis, jika perlu pakek koko dan kain sarung saja,” begitu lebih kurang ucapan Achmad Marzuki ketika menghardik Satpol PP.
Dua hal di atas, sebenarnya, bukan variabel biasa-biasa aja. Meminjam istilah di dunia TikTok, jika “VT ini lewat di beranda Anda”, ini bukan faktor kebetulan. Ada pesan yang harus ditangkap.
Kedua peristiwa tadi, harus dibaca, memiliki korelasi dengan pikiran-batin seorang Achmad Marzuki dalam memperlakukan Aceh.
Kenapa dia memilih Satpol PP untuk dihardik, misalnya? Padahal kata-kata yang diucapkan itu yang terkesan mematikan semangat kerja personil Satpol PP — sebagai atasan seharusnya justeru memotivasi — adalah sesuatu yang bertentangan dengan aturan. Satpol PP bertugas, termasuk menggunakan atribut, sudah diatur dalam ketentuan resmi. Bukan suka-suka mereka!
Achmad Marzuki memilih Satpol PP, patut diduga, karena instansi ini adalah SKPA yang memiliki kedudukan lebih dibanding SKPA lainnya. Mereka punya power, boleh menangkap personil bahkan pejabat SKPA lainnya. Artinya, posisi mereka punya kekuatan terutama dalam mengawal penegakan syariat Islam. Kalau tidak untuk apa dilumpuhkan?
Pada sisi lain, ada pihak-pihak yang berupaya membangun pembelaan secara membabi-buta terhadap Achmad Marzuki. Seperti kelompok yang mengedarkan meme tadi, juga yang mengorganisir aksi demo mendukung yang bersangkutan di depan DPRA beberapa waktu lalu.
Fenomena-fenomena yang terjadi semakin meneguhkan fakta, bahwa Achmad Marzuki suka buat gaduh. Yang miris dan membuat prihatin, sesama anak bangsa tidak menyadari hal ini. Ada oknum-oknum yang mengatasnamakan aktivis mau begitu saja diadu domba. Padahal yang disuruh serang itu martabat sendiri.
Meskipun secara langsung publik tidak bisa membuktikan keterlibatan Achmad Marzuki dalam pembentukan opini dan penggalangan massa yang menguntungkan dirinya, tapi dia punya tanggung jawab moral.
Katakan saja tidak ada bukti kedekatan apalagi akses finansial dari seorang Achmad Marzuki terhadap kelompok-kelompok tersebut, tapi publik tentu saja tidak bisa dikibuli begitu saja. Apa lagi dengan kasat mata bisa dilihat bahwa mereka adalah pengangguran yang masih butuh pemasukan.[]