Apakah SE boleh Melanggar Undang-undang?

Ilustrasi (foto: repro)

PERNYATAAN Kepala Bagian Protokol Pimpinan Setdakab Aceh Besar, Imam Munandar, dan seorang widyaiswara pada BPSDM Aceh yang mengatakan bahwa tidak ada undang-undang yang dilanggar dalam penunjukan Anita sebagai Plt Direktur Rumah Sakit setempat adalah kekeliruan besar. Mereka tidak membaca undang-undang secara utuh dan teliti.

Cara berpikir mereka sangat simplifikasi. Menurut mereka, karena hanya bersifat pejabat sementara, maka penunjukan Plt direktur rumah sakit boleh menggunakan SE BKN Nomor 1 tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Artinya, SE BKN itu — menurut tafsir mereka — boleh mengabaikan undang-undang lain yang bersifat lex specialist. Artinya, SE boleh melanggar undang-undang lainnya. Sesederhana itu!

Benarkah SE boleh melanggar undang-undang?

Kita jadi ingat pelajaran di bangku SMP dulu, bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Melansir Kompas.com 20 Maret 2022, di sana disebutkan, bahwa norma hukum yang paling tinggi kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945. Kemudian, di bawah itu, ada Tap MPR, Undang-undang, Undang-undang atau Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan pemerintah (PP), Peraturan presiden, Peraturan daerah provinsi (termasuk di dalamnya Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan daerah khusus atau perdasus, serta peraturan daerah provinsi atau perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat).

Paling bawah adalah Peraturan daerah kabupaten atau kota. Dalam hierarki perundang-undangan, SE tidak termasuk di sana.

Ketentuan mengenai jabatan kepala rumah sakit diatur secara khusus dalam dua undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Ulangi: jabatan direktur rumah sakit. Bukan Kadis Sosial atau Kepala Perpustakaan. Ini jabatan spesifik. Sangking spesifiknya maka dibutuhkan dua Undang-undang untuk mengaturnya.

Status Plt atau Plh itu hanya diskresi yang diberikan oleh aturan bagi kepala daerah untuk bisa mengisi kekosongan sementara untuk jabatan ASN. Tantu saja “hak” istimewa tersebut tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang dengan melabrak undang-undang. Tentu tidak sehat cara berpikir siapa pun yang membolehkan pelanggaran hukum dengan alasan karena hanya untuk sementara. Ini contoh yang tidak benar.

SE BKN levelnya berada di bawah PP. Jadi, jelas tidak bisa membatalkan Undang-undang. Apa lagi di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menjadi rujukan SE BKN juga ditegaskan secara gamblang tentang pengangkatan seorang Plt atau Plh.

Pasal 14 ayat (3) UU Nomor 30/2014 menyebutkan, bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Dalam pasal 34 ayat (2) ditegaskan lagi, bahwa Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, jelas ya? Bukan sesuai SE.

Untuk kedua klausul itu (pasal 14 dan pasal 34) disebutkan dalam penjelasan undang-undang dengan keterangan “cukup jelas”. Karena itu, tidak perlu penafsiran lagi.

Jika membaca dengan cermat kedua aturan hukum tadi, maka penunjukan Anita sebagai Plt Direktur RS jelas tidak sejalan dengan kedua undang-undang karena yang bersangkutan bukan tenaga medis. Juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30/2014 karena penunjukan Plt atau Plh untuk direktur RS harus mengacu undang-undang sendiri yaitu Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (ditegaskan dalam pasal 14 ayat 3 UU Nomor 30 Tahun 2014).

Terlepas dari itu semua, soal pengisian jabatan kepala dinas dan lain sebagainya di Aceh Besar dan dimana saja, itu adalah kewenangan kepala daerah. Dia mau mengangkat siapa saja, bahkan lulusan Paket C pun untuk kepala dinas, itu hak dia. Tidak ada pihak lain yang bisa mencegah.

Untuk mengamankan kebijakan itu, dia pun bisa menggunakan resources yang dimiliki, termasuk menggaji tenaga ahli untuk membenarkan tindakan tersebut.

Hanya saja, sebagai pilar demokrasi, media berkepentingan menyampaikan kebenaran sesuai dengan fakta yang ada. Agar publik tidak dibodoh-bodohi. Tidak ada kepentingan lain bagi media. Hanya sebatas itu.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *