BUKAN soal berapa nilai kerugian negara dari kasus penyimpangan anggaran yang diduga terjadi pada kegiatan sosialisasi Gerakan Immunisasi dan Stunting Aceh (GISA). Seberapa pun nominalnya bukan itu yang jadi urgensi masalah.
Penyimpangan penggunaan SPPD pada kegiatan GISA, misalnya — lagi-lagi jika itu benar terjadi — membuktikan betapa mudahnya anggaran diselewengkan.
Di satu sisi, publik sering mendengar alasan keterbatasan anggaran jika itu untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan rumah dhuafa. Tapi, untuk kepentingan lain yang belum jelas outcome dan benefitnya, birokrasi dengan mudah mendapatkan anggaran.
Masalahnya di situ. Ini soal kejujuran.
Kita tidak usah membahas apakah program GISA secara ekspilisit tercantum dalam RPJM Aceh. Kalau jawabannya iya, Pemerintah Aceh semestinya sudah sejak awal mengalokasikan anggaran untuk mendukung program ini. Apakah untuk pengadaan makanan tambahan, tablet tambah darah, SPPD atau bahkan pengadaan stiker dan spanduk di berbagai SKPA.
Kalau itu semua tersedia, sudah pasti tidak ada SKPA yang mengeluhkan ketiadaan anggaran demi mendukung GISA.
Tapi, pasti tidak mungkin kan, pada Dinas Pertanian, misalnya, ada mata anggaran pengadaan tablet tambah darah? Karena tupoksi Distan bukan itu!
Nah, argumentasi tadi sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa GISA merupakan program yang lahir di tengah jalan. Sporadis.
Sangat naif. Bagaimana sebuah kegiatan besar dilakukan tanpa dukungan anggaran?
Kini, GISA sudah dihentikan sementara (?). Kita tidak ingin mengungkit terlalu dalam kelemahan program dadakan ini.
Ada pembelajaran yang harus dipetik dari kasus ini. Bahwa, birokrasi harus profesional. Jangan lagi mengulangi pola kerja yang ugal-ugalan.
Yang lebih mulia dari itu, cobalah bersikap gentleman. Jika ada penyimpangan di sana, jangan ditutup-tutupi. Dokumen dan berbagai catatan hari ini akan diwariskan pada generasi mendatang.
Jika ada SPPD dan varian kegiatan lainnya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, itu sama halnya dengan mengajarkan cara-cara kerja spekulatif. Ini tentu menjadi legacy yang tidak elok bagi generasi masa depan.
Itulah beberapa catatan yang tersisa dari GISA. Semoga jadi pelajaran berharga![]