ALHUDRI, kepala Dinas Pendidikan Aceh saat ini, disebut-sebut, adalah “anak emas” Nova Iriansyah. Gubernur terburuk, julukan DPRA. Hudri bagaikan putra mahkota.
Mungkin dalam konteks itu, Sekda Taqwallah pernah menyebut Hudri sebagai “aneuk agam.” Dalam terminologi ke-Aceh-an, istilah ini bisa bermakna: juah (arogan), sangar, atau juga budueng (temperamen).
Tapi, Hudri barangkali tidak sangar, juah, juga budueng. Dia seorang pejabat eselon II, kebanggaan gubernur parlente. Nova.
Ada yang menarik ketika membahas figur ini selama beberapa waktu belakangan. Khususnya, sejak dia mempimpin Dinas Pendidikan.
Selain berhasil memunculkan imej yang gemerlap tentang prestasi kelulusan siswa Aceh lewat jalur SBMPTN, tampilan Hudri di media juga sering mengundang “simpati” lantaran acap berkunjung ke wilayah pedalaman. Katanya, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Entah dimana korelasi antara kegiatan mengunjugi pedalaman dengan mutu? Entahlah. Itu perdebatan lain. Barangkali itu konsumsi publikasi. Untuk pencitraan.
Karena, bagi orang yang paham pendidikan, bukan di situ letak masalahnya. Pendidikan menyangkut sejumlah variabel, yang hanya dipahami oleh mereka yang concern mendalami seluk-beluk persoalan edukasi yang melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
***
Media ini adalah sebuah institusi jurnalistik. Seperti yang lainnya, kabaraktual.id merupakan pilar demokrasi. Dia mengemban misi “kontrol sosial” atas berbagai kebijakan pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti persoalan pendidikan.
Yang ingin ditegaskan di sini, bahwa apa yang sedang disampaikan adalah sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan adalah kebutuhan masyarakat yang sebagian asupannya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Jurnalisme bekerja dengan semangat itu. Bukan perasaan emosional, apalagi tendensi pribadi. Media harus berdiri di atas kepentingan idealisme.
Kritik terhadap kepemimpinan institusi pendidikan Aceh yang disampaikan di sini dilandasi sebuah fakta terkait apa yang sedang terjadi pada lembaga tersebut.
Penunjukan Alhudri sendiri oleh Nova Iriansyah adalah sebuah penyimpangan dari ketentuan merit system dalam manajemen kepegawaian yang menekankan aspek profesionalisme dan integritas dalam penempatan seseorang pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintah.
Di sinilah letak masalahnya. Nova telah menempatkan orang yang salah untuk memimpin Dinas Pendidikan. Padahal instansi itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak cilet-cilet (asal-asalan). Ia mempunyai misi menyiapkan generasi Aceh yang berakhlak mulia, terampil, dan cerdas, serta memiliki daya saing. Misi ini disebut Gubernur Irwandi Yusuf dengan istilah “Aceh Carong”.
Tapi, Nova seperti main-main membangun pendidikan Aceh. Dia menempatkan orang yang sama sekali tidak paham pendidikan untuk tugas mencerdaskan anak Aceh.
Jika ditamsilkan sebuah bus/bis, pendidikan Aceh hari ini sedang disopiri oleh seorang tunanetra yang sama sekali tidak bisa melihat. Anda bisa membayangkan, bagaimana rasa cemas ketika kita menyerahkan “nyawa” (masa depan) anak untuk berada dalam bis (institusi pendidikan) yang disopiri tunatera?
Memang seorang Kadis tidak harus mengerti pekerjaan teknis. Tapi, dalam memimpin, seorang kepala dinas harus mengerti filosofi sebuah pekerjaan. Karena itulah, ada istilah pejabat karier.
Semua yang akan naik ke puncak kepemimpinan mesti datang dari bawah. Sehingga, ketika berada di puncak, seseorang sudah tahu cara mengatasi sebuah masalah di lapangan, tentu dengan menerapkan manajemen secara berjenjang pula. Bukan manajemen koh ok (manajemen tukang pangkas kampungan) seperti terjadi dalam birokrasi Aceh belakangan.
Pj Gubernur mesti mencermati permasalahan ini. Penempatan banyak pejabat Aceh di era Nova tidak dilakukan secara benar. Kalau pun ada fit and proper tes — seperti dikemukakan seorang pengamat — tidak lebih sebagai modus untuk menggolkan calon tertentu pada posisi-posisi yang sudah disiapkan.
Bapak gubernur, nanti, bisa membuktikannya sendiri. Tapi, hati-hati. Banyak diantara mereka yang sangat jago menjilat. Anda mesti waspada, jika punya keinginan untuk membantu menyelamatkan Aceh dari ancaman kehancuran lebih dalam.
Kembali ke persoalan Hudri. Menurut informasi, ia lulusan STPDN yang memulai karier PNS sebagai camat di pedalaman dataran tinggi Gayo. Meski ada yang menyebutnya milisi, tapi pada saat yang lain dia mengaku lebih GAM dari GAM yang sebenarnya.
Sejak memimpin Dinas Pendidikan, dia membuat gebrakan yang menimbulkan keguncangan. Tidak berapa lama, dia langsung mendepak sejumah pejabat dan juga staf ke luar instansi itu. Ada informasi, bahkan tenaga kontrak pun jadi korban. Dibuang jauh dari tempat domisili.
Terkait masalah ini, Sekda Taqwallah seperti tutup mata. Dia terkesan kalah bulu di hadapan Hudri. Padahal Taqwallah sudah menata manajemen tenaga kontrak dan membuat rasionalisasi. Rekrutmen tenaga kontrak dilakukan sesuai dengan kebutuhan sebuah organisasi.
Tapi, semua kebijakan tersebut tidak berlaku bagi Hudri. Kabarnya dia membuang sejumlah tenaga kontrak ke daerah karena alasan yang tidak dimengerti. Padahal mereka punya keluarga di Banda Aceh. Bisa dibayangkan. Bagaimana seorang tenaga kontrak bisa bertahan hidup dengan gaji sekitar Rp 2,3 juta ketika mereka harus jauh dari keluarga.
Ada yang menyebut, Hudri melakukan itu, membuang staf Disdik berpengalaman, karena takut kelihatan bodoh di depan staf yang menguasai tupoksi.
Pejabat yang terakhir dibuang adalah Sekretaris Disdik Teuku Nara dan Kepala Cabdis Aceh Timur Abdul Jaban. Nara meskipun pada awalnya berasal dari luar Disdik, tapi karena sudah lumayan lama berkecimpung di sana sudah lumayan menguasai tupoksi. Sedangkan Abdul Jaban merupakan pejabat lama, kabarnya, datang dari background seorang pendidik.
Begitulah Hudri. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan faktor kualitas SDM. Dia mengurus Dinas Pendidikan seperti mengelola perusahaan pribadi. Siapa yang tidak disukai langsung disepak keluar. Seakan-akan Disdik dibangun dengan modal keluarganya.
Dinas Pendidikan adalah institusi yang mengemban tugas muia. Jangan lupa itu. Di bawahnya terdapat sekolah-sekolah tempat anak masyarakat belajar. Dinas Pendidikan adalah instansi pemerintah yang harus dikelola secara profesional, dengan mengikuti aturan pemerintah. Bukan suka-suka sendiri.[]