KACABDIN (kepala cabang dinas) Pendidikan Aceh Wilayah Aceh Selatan, Annadwi, mulai kelimpungan. Pejabat eselon III.b Disdik Aceh ini uring-uringan disebut suka minta-minta uang kepada kepala sekolah. Annadwi berang dituding begitu. Dia merasa dipermalukan.
Mantan guru SMK asal Subulussalam yang jadi bos Cabdin “negeri pala” ini, kemudian, membuat pembelaan. Bahkan, dengan menggerakkan perangkat MKKS (organisasi kepala sekolah).
Annadwi mengaku tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan. “Itu hanyalah fitnah. Kami bekerja sesuai aturan dan tidak ada praktik seperti itu,” tegasnya seperti dilansir sejumlah media online, Selasa 21 Januari 2025.
Annadwi, terkesan, seperti sedang kalap. Dia pun balik menyerang. Tak ubahnya seperti pendekar mabuk, serangannya membabibuta entah kemana-mana.
Annadwi berprasangka, ada pihak tertentu yang menjadikan isu KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) sebagai upaya pembunuhan karakter dirinya demi kepentingan jabatan. “Bek ku’eh (jangan dengki). Jangan prasangka buruk kepada orang lain,” ucapnya seperti dialamatkan untuk pihak tertentu.
Annadwi mengklaim bahwa dirinya adalah sosok pekerja keras yang patuh dan tunduk pada darma pendidikan. Karena itu, dia mengatakan tidak mungkin meminta jatah 1% dari dana BOS dan DAK seperti diungkap sejumlah media.
Begitu pula soal isterinya yang lulus seleksi PPPK, disebutnya, sudah sesuai ketentuan. “Tidak ada kolusi seperti yang dituduhkan,” kata Annadwi.
Baiklah. Kita tentu harus menghormati pembelaan Annadwi. Seperti kata dia, semua masih berupa opini yang belum terbukti.
Seperti halnya penghormatan terhadap argumentasi Annadwi, respek yang sama pun harus diberikan untuk pendapat publik yang diwakili oleh narasumber media. Harus berimbang.
Harus diingat! Institusi pemerintah (termasuk Cabdin) adalah lembaga publik yang boleh dikritik. Pers punya kewenangan untuk melakukan kontrol, karena penyelenggara pemerintahan itu digaji oleh rakyat dari pajak yang dibayar.
Instansi pemerintah bukan perusahaan pribadi. Makanya, ketika pejabatnya memasukkan isteri atau anggota keluarga untuk bekerja di sana, itu dinamakan kolusi. Apalagi prosesnya tidak melewati seleksi yang fair dan obyektif.
Seperti pengakuan kepala sekolah. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa manakala berhadapan dengan kenyataan bahwa isteri atasannya sering tidak datang ke sekolah. “Inong pak kacab kiban tapeulaku teuma (isteri pak Kacab, kita gak bisa berbuat apa-apa).”
Itu bukan indikasi kerja meningkatkan mutu, pak Kacab! Itulah ciri-ciri kolusi yang merugikan negara dan masyarakat.
Klaim sebagai sosok pekerja keras tentu masih bisa diperdebatkan. Itu masih bersifat subyektif.
Apa alat ukurnya? Apa output yang telah dihasilkan?
Publik berhak mendapatkan informasi yang jujur berdasarkan alat ukur yang fair dan independen. Bukan klaim superlatif yang tidak punya dasar.
Tapi, oke-lah. Tentang tuduhan-tuduhan itu, biarlah proses hukum yang bekerja. Aparat penegak hukum sudah memiliki SOP untuk membuktikan semua. Atau, ia akan menjadi catatan sejarah!
Demikian pula halnya dengan institusi pers yang menyuarakan dugaan penyimpangan Kacabdin Aceh Selatan. Pilar demokrasi ini melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kode etik dan undang-undang. Tidak ada pretensi pribadi di sana, apa lagi untuk merebut jabatan.
Itu tuduhan yang tidak masuk akal !
Pers beda dengan buzzer bayaran. Pers bekerja untuk kepentingan semua, tidak memihak apalagi menjilat. Semua dilakukan secara berimbang. Peliputannya menggunakan pendekatan cover both side seperti diamanatkan (terutama pasal 1 dan 3) Kode Etik Jurnalistik.
Jadi, jangan asal bunyi. Jangan seperti pendekar mabuk!