Opini  

Ramadhan; Sukatani dan Integritas Bangsa

Avatar photo
Ilustrasi (foto: Pixabay)

“Integritas mudah di alam diksi, tapi sulit di alam nyata”
 
INTEGRITAS adalah kata yang sering kita temui di berbagai tempat, terutama di kantor-kantor pemerintah yang mengurusi kepentingan publik. Kalimat seperti “Anda memasuki kawasan bebas pungli” adalah contoh bagaimana integritas dianggap penting.
 
Dengan kalimat seperti itu, aparatur pemerintah ingin meyakinkan masyarakat bahwa layanan yang diberikan profesional, cepat, dan bebas pungutan liar.  

Kenyataannya? 

Integritas seringkali hanya menjadi slogan indah di ranah ide, tetapi sulit diterapkan di dunia nyata.  

Baru-baru ini, jagat maya Indonesia dihebohkan oleh lagu yang menggugat integritas salah satu lembaga negara yang dituding penuh kemunafikan. Band Sukatani, grup musik yang menggemparkan publik, menyuarakan kritik pedas lewat lagu “Bayar-Bayar-Bayar”.  

Allah SWT telah berfirman “”Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”” (QS. At-Tahrim: 9)  

Jauh sebelum Sukatani mengajak kita melawan perilaku tidak berintegritas, Allah telah dengan tegas memerintahkan kita untuk melawan kekafiran dan kemunafikan. Dalam konteks hari ini, kemunafikan yang sering muncul dalam wujud ketidakjujuran dan manipulasi menjadi tantangan terbesar.  

Lebih sulitnya lagi, kemunafikan seringkali sulit diidentifikasi secara fisik, tidak seperti kekafiran yang lebih mudah dikenali. Bahkan ketika slogan dan kampanye integritas semakin keras digaungkan, justru praktik ketidakjujuran semakin subur dalam berbagai bentuk. Lebih parahnya, kemunafikan bisa saja ada dalam diri kita sendiri dan itu justru merupakan musuh yang paling sulit untuk diperangi.  

Seorang teman pernah berkata, “Kita semua adalah perampok, hanya saja belum mendapat kesempatan.”

Saat berdiskusi tentang integritas, ia menambahkan, “Lihatlah mereka yang telah melalui seleksi ketat, fit and proper test, bahkan disumpah untuk bekerja dengan penuh integritas. Nyatanya apa? Uang rakyat terus digarong, tentunya sesuai dengan jabatan dan kapasitas masing-masing.”

Lalu, apakah kita harus memastikan diri menjadi orang yang benar-benar baik sebelum memperbaiki orang lain? Tidak. Dua hal ini bisa berjalan bersamaan. Sebagai manusia, kita memang tempatnya salah dan khilaf, termasuk dalam hal kemunafikan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk saling mengoreksi, mengkritisi, dan menasihati.  

Rasulullah SAW bersabda: “Agama adalah saling menasihati”.  

Pernyataan ini menegaskan pentingnya kontrol sosial agar integritas dapat terus tumbuh dan terjaga.

Memperbaiki diri adalah bentuk kesalehan individu, sementara memperbaiki masyarakat adalah bentuk kesalehan sosial. Kedua hal ini tidak harus menunggu satu sama lain, tetapi dapat berjalan beriringan.  

Ketika kita mengkritik orang lain, secara tidak langsung kita juga membuka diri untuk dikritik. Pada akhirnya, hal ini akan membawa kita ke arah yang lebih baik.  

Kemunafikan, Antara Janji dan Realita

Kemunafikan adalah inkonsistensi antara ucapan dan tindakan, antara janji dan kesungguhan untuk menepatinya, serta antara kegigihan dalam mengejar kepercayaan dengan usaha menjaga amanah yang diberikan.  

Kita semua telah bekerja keras untuk mendapatkan posisi yang kita duduki saat ini, baik sebagai presiden, menteri, pejabat BUMN, polisi, tentara, dosen, guru, dokter, hingga tukang parkir. Namun, apakah kita benar-benar bekerja dengan penuh integritas?  

Sebagai manusia, kita pasti memiliki keinginan dan ambisi. Namun, yang harus kita pastikan adalah ambisi tersebut tidak mengorbankan prinsip integritas. Jika kekuasaan dan kewenangan yang kita miliki justru menjadi petaka bagi publik, maka kita telah gagal menjaga amanah yang diberikan.  

Puasa Ramadhan adalah Ujian Integritas yang Sesungguhnya

Menjelang bulan suci Ramadhan, kita menemukan konteks nyata dari ujian integritas. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga ujian kejujuran dan konsistensi.   

Saat kita berniat berpuasa, kita dilarang makan, minum, atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Tidak ada yang bisa memastikan apakah kita benar-benar berpuasa kecuali diri kita sendiri. Jika kita sungguh-sungguh menjaganya, berarti kita telah selamat dari kemunafikan dalam bentuknya yang paling mendasar: tidak jujur terhadap komitmen kita sendiri.  

Dalam konteks yang lebih luas, ujian konsistensi ini juga berlaku dalam kehidupan sosial, baik sebagai individu, rakyat, maupun pemimpin.  

Rasulullah SAW secara tegas telah menganjurkan kita untuk mencegah kemungkaran sesuai dengan kapasitas kita:  

Barang siapa yang melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tangan (Jika memiliki kekuasaan, cegahlah dengan kebijakan yang adil dan bersih dari korupsi, pungli, serta nepotisme).

Jika kita tidak memiliki kekuasaan atau tidak mampu mengubah dengan tangan maka cegahlah dengan lisan (memiliki suara) artinya kita bisa gunakan media atau platform untuk mengkritik ketidakadilan sebagaimana yang dilakukan oleh Sukatani melalui lagu mereka.

Dan, terakhir jika kita tidak mampu mencegah dengan lisan, maka bencilah ketidakadilan dalam hati (dan sebagaimana yang disebut Rasulullah) itu adalah selemah-lemahnya iman.  
Integritas sebagai Tanggung Jawab Bersama  

Sebagai rakyat, kita juga berkewajiban untuk menegakkan integritas — baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kontrol terhadap kebijakan negara. Jika sistem yang korup merugikan masyarakat, maka rakyat harus bersuara. Jangan sampai kita justru menjadi pendukung ketidakadilan hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok.  

Menjadi bangsa terbaik (khairul ummah) bukan hanya tentang mengutamakan kebaikan, tetapi juga tentang berani menegur kemungkaran. Dalam Al-Quran, Allah SWT telah menegaskan bahwa umat yang terbaik adalah mereka yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan.  

Karena itu, upaya menegakkan integritas tidak boleh berhenti pada slogan dan pencitraan belaka. Kita harus serius menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kemungkaran — baik yang dilakukan individu maupun yang dilembagakan dalam sistem yang korup.  

Sebagai Muslim, kita wajib mencegah kemunafikan dan ketidakadilan dengan cara apa pun yang kita mampu. Jika tidak bisa mengubah keadaan, setidaknya kita tidak ikut terlibat dalam kezaliman tersebut.

Jangan sampai kita menjadi bagian dari sistem yang kita kritik hanya karena kepentingan sesaat.  
Semoga kita benar-benar menjadi khairul ummah umat terbaik yang berintegritas tinggi, bersih dari korupsi, dan tidak tunduk pada ketidakadilan.[]

Penulis; alumni IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *