Opini  

Catatan Pilu dari Tragedi Sibolga; Masjid yang Kehilangan Ruhnya

Avatar photo
Pintu sebuah masjid yang digembok akibat konflik manajemen antarpengurus (foto: inet)

MASJID seharusnya menjadi tempat paling aman di muka bumi. Peristiwa tragis di Masjid Agung Sibolga yang menewaskan seorang pemuda asal Aceh, AR (21), justru menunjukkan betapa perilaku dan sikap kita telah jauh melenceng dari makna itu. Rumah Allah, yang mestinya menjadi tempat bernaung dan beribadah, berubah menjadi ruang kekerasan yang menodai kesuciannya sendiri.

Kejadian ini bukan sekadar insiden kriminal, melainkan cermin dari krisis nilai yang lebih dalam. Ia menandakan betapa fungsi sosial dan spiritual masjid di banyak tempat kini kian menyempit. Telah bergeser dari pusat peradaban umat menjadi sekadar bangunan megah yang sepi makna.

Sejak masa Rasulullah SAW, masjid bukan hanya tempat sujud, tetapi juga pusat ilmu, dakwah, dan musyawarah umat. Di Masjid Nabawi, Rasulullah tidak hanya mengajarkan tauhid dan akhlak, tetapi juga membahas strategi sosial, ekonomi, dan politik. Dari masjid itulah lahir generasi yang mengubah wajah dunia dengan ilmu dan peradaban.

Baca juga: Gara-gara Numpang Tidur di Masjid, Pemuda Asal Simeulue Dipukul dan Diseret hingga Tewas

Sejarah Islam penuh dengan teladan pengelolaan masjid yang hidup dan produktif. Masjid al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, berdiri sejak tahun 859 M dan menjadi universitas tertua di dunia, tempat para ulama dan cendekiawan menimba ilmu. Di Masjid Al-Azhar, Kairo, ilmu agama berkembang beriringan dengan ilmu sosial dan sains hingga kini.

Sejumlah masjid modern di Indonesia berhasil meneladani semangat itu. Masjid Jogokariyan di Yogyakarta dikenal karena pengelolaan yang transparan, jamaah aktif, dan program sosial yang menyentuh akar permasalahan umat; dari koperasi, beasiswa, hingga distribusi sedekah.

Baca juga: Mualem Tunjuk Abu Paya Pasi sebagai Imam Besar Baiturrahman

Masjid Salman ITB menjadi ruang pembinaan intelektual dan sosial mahasiswa lintas disiplin, sementara Masjid Raya Baiturrahman Aceh pasca-tsunami menjadi simbol kebangkitan dan solidaritas masyarakat. Semua contoh itu menunjukkan, bahwa ketika masjid dikelola dengan visi dakwah, ilmu, dan sosial, maka ia menjadi sumber cahaya peradaban.

Masjid yang Dikuasai, Bukan Dihidupkan

Namun sayangnya, tidak semua pengelola masjid memahami jati diri itu. Banyak masjid hari ini hanya aktif saat Ramadan. Selebihnya menjadi ruang seremonial yang mati secara sosial. Di beberapa daerah, termasuk Aceh—yang memiliki lebih dari 6.000 masjid aktif menurut data Kemenag 2024—kebanyakan hanya berfokus pada fisik bangunan, bukan penguatan fungsinya.

Peristiwa di Sibolga menampar kesadaran kita. Bagaimana mungkin rumah Allah menjadi tempat seseorang kehilangan nyawa? Apakah karena masjid telah kita perlakukan sebagai “milik kelompok” atau “wilayah kekuasaan” yang harus dijaga dengan cara kekerasan?

Masjid seharusnya menjadi milik umat, bukan milik segelintir orang yang merasa paling berhak menentukan siapa boleh masuk dan siapa yang harus diusir. Rasulullah SAW bahkan menerima para musafir, non-Muslim, dan kaum dhuafa di masjid dengan kasih sayang, bukan dengan amarah.

Reaktualisasi Pengelolaan Masjid

Kini, tantangannya adalah bagaimana mengembalikan ruh itu. Pengelolaan masjid harus diletakkan di atas prinsip amanah, transparansi, dan pelayanan umat. Takmir atau pengurus masjid perlu dibekali pendidikan manajerial, etika pelayanan, serta pemahaman keagamaan yang inklusif.

Dewan Masjid Indonesia (DMI) bersama Kementerian Agama sebenarnya telah menyiapkan pedoman Good Mosque Governance, yang menekankan aspek transparansi dana, manajemen kegiatan, serta keamanan jamaah. Namun, implementasinya di lapangan masih lemah. Banyak pengurus belum menyadari bahwa mereka bukan sekadar penjaga kunci, tetapi pemelihara nilai.

Masjid juga perlu membuka diri terhadap kegiatan sosial dan pendidikan, seperti rumah baca, pelatihan ekonomi umat, bimbingan keluarga, dan pembinaan remaja. Dengan begitu, masjid kembali menjadi ruang pertemuan dan pembelajaran, bukan sekadar tempat ritual yang kaku.

Menghidupkan Kembali Ruh Masjid

Tragedi di Masjid Agung Sibolga harus menjadi titik balik bagi umat Islam di Indonesia. Kita tidak bisa lagi memaknai masjid hanya sebagai bangunan megah dengan pendingin ruangan dan pengeras suara, tetapi kosong dari kasih sayang dan ilmu.

Jika rumah Allah tidak lagi aman, maka itu bukan kesalahan Tuhan, melainkan kegagalan manusia menjaga amanahnya.

Masjid seharusnya mempersatukan, bukan memisahkan. Menenangkan, bukan menakutkan. Dari masjid yang hidup akan lahir masyarakat yang damai dan beradab. Dari masjid yang aman, akan tumbuh kembali peradaban Islam yang menebar rahmat bagi semesta alam.

Kini saatnya kita bertanya: apakah masjid di sekitar kita masih menjadi tempat sujud, atau sudah berubah menjadi ruang kekuasaan yang kehilangan ruhnya?[]

Penulis adalah pengamat kebijakan publik dan akademisi, berdomisili di Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *