KEHADIRAN Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Aceh semakin sering muncul dalam diskursus ekonomi daerah ini. Apa sesungguhnya fungsi dan kontribusi OJK bagi pembangunan ekonomi rakyat Aceh?
Sebagai lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK memiliki mandat besar. Lembaga ini mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan mulai dari perbankan, asuransi, hingga lembaga pembiayaan. Namun, dalam praktik di Aceh, peran strategis itu nyaris tak terasa.
Mandat Besar, Aksi Minim
OJK seharusnya menjadi garda depan dalam memastikan sistem keuangan berjalan sehat dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, berbagai persoalan mendasar justru dibiarkan berlarut-larut. Salah satunya, kredit macet yang nilainya mencapai miliaran rupiah di sejumlah lembaga keuangan daerah.
Baca juga: Dituding Tutupi Data Kredit Macet, OJK Aceh Terancam Disomasi
Kredit macet bukan sekadar urusan laporan neraca bank, melainkan jantung dari perputaran uang dan aktivitas ekonomi. Ketika kredit macet tinggi, peredaran uang (velocity of money) tersendat. Akibatnya, ekonomi rakyat melemah, daya beli menurun, dan investasi lesu. Itulah yang kini terjadi di Aceh.
Ironisnya, di tengah stagnasi itu, OJK lebih sering tampil sebagai lembaga administratif ketimbang penggerak solusi. Padahal, fungsi pengawasan dan rekomendasi kebijakan semestinya diarahkan untuk membantu pemerintah daerah memperbaiki ekosistem keuangan dan memulihkan kepercayaan pelaku usaha.
Mengabaikan Arah Kebijakan Nasional
Presiden Prabowo Subianto, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024, telah mengeluarkan kebijakan penghapusan kredit macet bagi pelaku usaha yang terdampak pandemi, bencana, dan konflik. Tujuannya sederhana: memberi ruang napas baru bagi UMKM agar kembali bergerak.
Baca juga: Kredit Macet UMKM di Aceh Capai Rp 3,8 Triliun, Nasabah Bank Aceh tidak Dapat Pemutihan
Namun, di Aceh, implementasi kebijakan ini seolah tidak tersentuh. Banyak pelaku usaha mikro dan kecil, termasuk petani, peternak, dan nelayan, mengaku tidak mengetahui adanya program pemutihan kredit. Di sinilah seharusnya OJK tampil sebagai jembatan informasi antara kebijakan pusat dan masyarakat daerah.
Ketika lembaga pengawas justru pasif, maka kebijakan yang baik pun kehilangan daya guna. OJK di Aceh seolah hadir hanya untuk mengawasi bank, bukan untuk membantu masyarakat yang terjebak dalam lilitan utang produktif.
Uang Aceh Mengalir ke Luar Daerah
Lebih memprihatinkan lagi, dana publik milik rakyat Aceh justru banyak tersimpan di luar daerah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, dana milik Bank Aceh Syariah (BAS) yang ditempatkan di luar Aceh mencapai angka mencengangkan:
Rp 2,9 triliun di Kementerian Keuangan
Rp 2,65 triliun di Bank Indonesia, dan
ratusan miliar lainnya di berbagai bank serta perusahaan nasional seperti Bank Muamalat, BPD Jawa Tengah, Indah Kiat, XL Axiata, hingga Indosat.Totalnya lebih dari Rp 7 triliun.
Dana sebesar itu pada akhirnya ikut menggerakkan ekonomi luar Aceh, sementara ekonomi lokal dibiarkan berjalan dengan napas pendek.
Pertanyaannya: di mana OJK?
Apakah tidak menjadi tanggung jawabnya memastikan dana publik dikelola sesuai asas manfaat bagi daerah asalnya? Jika OJK hanya bersembunyi di balik jargon independensi tanpa sensitivitas daerah, maka ia kehilangan makna substantifnya sebagai lembaga penjaga keadilan ekonomi.
Minim Transparansi, Publik Dikecewakan
Kritik lain yang tak kalah penting adalah tertutupnya OJK Aceh terhadap informasi publik. Banyak jurnalis dan akademisi di Aceh mengaku kesulitan memperoleh data tentang kredit macet, pergerakan dana daerah, atau kinerja sektor keuangan. Padahal, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa lembaga publik wajib membuka data yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Sikap tertutup seperti ini justru memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan. Apalagi, dalam konteks Aceh yang sedang berjuang keluar dari stagnasi ekonomi, kejelasan data adalah dasar bagi kebijakan yang tepat sasaran.
Aceh Butuh OJK yang Progresif
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan II 2025 hanya 1,79% (year-on-year), jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 4,94%. Sektor utama seperti pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan masih terseok-seok.
Dalam situasi seperti ini, Aceh justru membutuhkan OJK yang progresif dan solutif, bukan lembaga formal yang sekadar menunggu laporan dari bank. OJK seharusnya ikut mendorong inovasi pembiayaan daerah, mengawasi agar dana publik tidak keluar dari sirkulasi ekonomi lokal, serta memastikan kebijakan nasional menyentuh sektor riil.
Jika lembaga sebesar OJK tidak hadir dalam denyut ekonomi rakyat Aceh, maka wajar bila masyarakat bertanya: Untuk apa sebenarnya OJK di Aceh? Apakah hanya sebagai simbol kehadiran negara di papan nama kantor, atau sebagai pelindung kepentingan ekonomi rakyat?
Penulis adalah akademisi dan pengamat ekonomi daerah, berdomisili di BandaAceh












