DALAM dua hari terakhir laman media dipenuhi berita-berita tentang Dinas Pendidikan Aceh, khususnya terkait proyek pengadaan tong sampah untuk SMA dan SMK. Begitu gegap gempita.
Berbagai kalangan mempertanyakan urgensi proyek tong sampah ini. Salah satunya disuarakan dengan lantang oleh akademisi Budi Azhari dari UIN Ar Raniry Darussalam.
Bingung menyaksikan kenyataan yang memilukan, ia kemudian mengajukan pertanyaan kritis. “Apakah ini menunjukkan rendahnya kreativitas dan inovasi kepala sekolah atau justru mencerminkan kebingungan kepala dinas dalam memanfaatkan anggaran pendidikan? Atau, jangan-jangan ada kebutuhan dana segar?”
Jika Kadisdik punya visi membangun, ia pasti tidak melirik tong sampah. Ia pasti menyusun program yang benar-benar akan mendongkrak kualitas pembelajaran sehingga bisa menghasilkan output berkualitas pula.
Karena memang tidak paham, maka program yang disusun sangat menyimpang dari substansi peningkatan mutu. Kasihan sekali. Di tengah situasi daerah yang sedang morat-marit kesulitan anggaran, sumber daya yang terbatas justeru digunakan secara tidak efektif.
“Insiden tong sampah” membuka tabir tentang bagaimana program membangun pendidikan dikelola oleh SDM yang ada di instansi tersebut. Kita harus jujur mengakui meskipun ini agak menyakitkan. Bahwa, para pengelola manajemen birokrasi pendidikan yang ada di sana hari ini adalah peninggalan rezim masa lalu.
Sebagian dari mereka adalah avonturir yang tergiur pindah ke sana karena mengejar cuan. Mereka datang dari background yang sangat minim pemahaman akan tugas dan fungsi jabatan yang diemban. Makanya, tidak heran kalau kemudian tidak mampu menyusun program yang benar.
Tong sampah sangat kasat mata sehingga publik dengan gampang bisa memberikan penilaian. Bagaimana dengan proyek nonfisik yang disusun oleh orang-orang yang minim kapasitas di sana?
Seperti kegiatan assasmen guru dan kepala sekolah yang sekarang sedang berlangsung. Ini juga sangat miris. Bagaimana tidak, soal-soal assasmen dibuat oleh mereka yang tidak memiliki sertifikat keahlian, sehingga hanya akan menjadikan guru dan kepsek sebagai kelinci percobaan.
Banyak sekali guru dan kepsek yang mengeluhkan permasalahan ini, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan oknum pejabat Disdik yang arogan. Kasihan guru-guru tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik karena harus mengikuti keinginan “raja-raja kecil” di Dinas Pendidikan. Mereka tidak berdaya.
Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) harus menghentikan kegilaan yang masih berlangsung pada Disdik. Kalau tidak, akan semakin banyak anggaran pendidikan yang menguap sia-sia lantaran dihamburkan untuk proyek semacam pengadaan “tong sampah” lainnya ke depan. Kasihan!