TIGA hari lalu, masih tergolong pagi. Seseorang menelepon Redaksi KabarAktual.id menanyakan alamat untuk keperluan mengantarkan sepucuk surat.
Kami bertanya kepada si penelepon. “Surat apa?”
“Mosi tak percaya.” Terdengar jawaban dengan nada bas dari balik perangkat smartphone.
Singkat cerita, surat yang diketik di atas dua halaman HVS itu pun mendarat di meja redaksi. Isinya memuat 10 poin.
Kemudian, ada 20 nama dengan tanda tangan berbeda-beda, tertera di bagian bawah. Boleh jadi mereka memang setuju dengan 10 pernyataan tadi, bisa jadi juga terpaksa teken karena menjaga perasaan kolega. Bek hana meu’oh (gak enak-an).
Oh ya, surat yang lupa diberi tanggal itu dialamatkan kepada kepala Dinas Pendidikan Aceh. Konon, kopiannya juga disampaikan ke Kejaksaan, Polda, dan gubernur.
Sebuah sumber memastikan hal itu ketika kami menikmati kopi di sebuah sudut Banda Aceh pagi tadi. “Sudah disebar kemana-mana. Saya dengar sudah sampai ke Kejati,” ujar teman ini setengah berbisik.
Surat itu menjelaskan kisruh antara guru dengan kepala sekolah. Menurut informasi, “cekcok” sudah berlangsung lama, sudah bertahun-tahun. Tapi, belum ada tanda-tanda akan berakhir hingga muncul surat mosi tak percaya.
Surat mosi di sekolah tersebut adalah sebuah contoh “api dalam sekam” permasalahan yang menggerayangi dunia pendidikan Aceh. Sebenarnya, masih banyak lagi. Persis ibarat fenomena gunung es, yang mencuat ke permukaan hanya sebagian kecil saja.
Isu KKN Cabdin Aceh Selatan, dugaan korupsi pelatihan guru yang sedang diperiksa kejaksaan, penggunaan travel bodong untuk mengirim umroh guru berprestasi, adalah beberapa yang mencuat.
Belum lagi permasalahan tata kelola yang juga ikut mempengaruhi produktivitas kinerja, seperti asesmen guru dan kepala sekolah yang tidak memiliki impact apa-apa untuk perbaikan mutu karena memang dilakukan asal-asalan untuk sekedar mengejar realisasi anggaran.
Sumber media ini mengatakan, bahan asesmen disiapkan oleh sekelompok guru yang tidak memiliki kapasitas yang cukup. Modalnya hanya kedekatan dengan oknum pejabat di Disdik. Akhirnya, apa yang dilakukan itu tidak tahu muaranya kemana, kecuali hanya membuat penuh tong sampah.
Sebuah kinerja yang bertanggung jawab, harusnya, terbuka dan punya dampak. “Banyak guru yang mendapatkan nilai rendah pada assesmen, bahkan tidak layak mengajar, tidak diberikan sanksi apa-apa.
Demikian pula guru yang bagus tidak mendapatkan reward karena bukan anggota tim kerja oknum pejabat,” kata sumber ini.
Di sisi lain, juga tidak pernah dilakukan rotasi. Guru berpuluh tahun berkutat di sekolah yang sama, akhirnya jenuh dan melakukan hal yang tidak-tidak seperti mosi tak percaya tadi.
Guru yang tidak mendapatkan suasana baru akan mati kreativitasnya. Makanya, tidak aneh kalau prestasi pun stagnan bahkan rentan menimbulkan gesekan, baik antar sesama guru maupun dengan kepala sekolah.
Ada satu lagi. Puluhan jabatan kepala sekolah yang sejak lama lowong, itu sangat sangat memberi pengaruh buruk. Beberapa jabatan kepsek yang masih kosong akibat rekayasa “drama pengunduran” diri beberapa waktu lalu bersama puluhan lainnya harus segera diisi. Karena ini jelas-jelas sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran.
Dinamika yang kurang sehat dalam tata kelola pendidikan Aceh, belakangan, adalah “buah” yang dihasilkan oleh kepemimpinan beberapa tahun sebelumnya. Selama kepemimpinan Alhudri, Disdik berada dalam kondisi hancur-hancuran.
Sosok tersebut tidak pernah berpikir mutu pendidikan, karena dia memang tidak punya kapasitas. Dia juga merekrut SDM, baik level pejabat maupun tenaga kontrak, yang sama sekali tidak menunjang upaya mencapai prestasi. Untuk menutupi itu semua, dia menggunakan buzzer membangun pencitraan.
Para pelaku di dalam Disdik sekarang adalah orang-orang peninggalan Alhudri. Mereka yang terus menggerogoti, membuat pendidikan Aceh sulit untuk bangkit. Makanya, sulit bagi kepala Disdik Aceh sekarang, Marthunis, untuk membenahi. Karena sangat banyak tangan yang “menyeret” dia untuk mundur ke belakang, bukan untuk melesat ke depan.
Beberapa contoh sudah disebutkan tadi. Isu permainan uang pada pengisian jabatan kepala sekolah, assasmen guru dan kepala sekolah, dan dugaan berbagai pungli yang secara diam-diam terus berjalan, tak bakalan sanggup diendus oleh Marthunis.
Mantan kepala Dinas Perizinan dan Investasi Aceh itu, dinilai banyak orang adalah pribadi yang baik. Marthunis adalah sosok yang santun dan bukan tipe pejabat serakah. Beda dengan pendahulunya.
Sebuah sumber lainnya menyebut, Marthunis selalu mewanti-wanti jajarannya agar tidak melayaninya, seperti membayar hotel atau memberikan “tips” saat ia melakukan perjalanan dinas. Itu sebuah indikasi bahwa dia bukan tipe pejabat yang tamak. Dia punya moral.
Tapi, keberadaan sosok yang baik di tengah kondisi lingkungan yang sedang hancur-hancuran adalah petaka. Kebaikan pada diri Marthunis tidak akan mengalir dengan begitu saja ke lingkungan yang sudah “tercemar” dalam waktu lama.
Marthunis harus berani melakukan tindakan ekstra, sebelum situasinya berbalik. Kita khawatir, lama-lama justeru Marthunis yang akan diwarnai oleh lingkungan yang sudah menggurita.
Contohnya sudah ada. Apa kurang baiknya seorang Rahmat Fitri, mantan Kadisdik yang terjebak kasus korupsi proyek wastafel?
Karena itu, tidak ada pilihan lain. Marthunis harus melakukan tindakan keras untuk menyelamatkan pendidikan Aceh. Tidak cukup dengan “mengisolasi” oknum yang selama ini dikenal sebagai toxic di dinas itu dan mengandalkan orang baru secara “di bawah tangan” yang justeru juga belum teruji.
Tindakan itu semakin mengundang bahaya. Ibarat duri dalam daging, bisa mendatangkan sesuatu yang tak terduga kelak.
Marthunis harus melakukan perubahan total di Disdik dan dunia pendidikan Aceh. Harus berani membersihkan “karat” peninggalan masa lalu. Itu cara yang tepat untuk mengalirkan kebaikan yang dimiliki, tidak dengan menganggap mereka sebagai sosok yang baik semua. Sebagian yang terlihat itu adalah “drama” yang dimainkan dengan sangat apik saat berada di depan kepala dinas.
Sistem tidak berfungsi
Kembali ke surat mosi tadi. Sedikit banyak, gejala ini bisa jadi muncul akibat kejenuhan.
Tapi, ada yang penting dan perlu disampaikan di sini.
Sekolah adalah lingkungan pendidikan. Di sana tempat berlangsungnya proses pembelajaran dan keteladanan. Proses pendidikan bukan sebatas PBM di depan ruang kelas.
Pembelajaran mencakup aspek yang sangat luas, termasuk keteladanan bertutur sapa, disiplin, atau berinteraksi dengan sesama. Bukankah tujuan pendidikan Aceh melahirkan insan berkualitas, memiliki daya saing berlandaskan ajaran Islam?
Kalau sedikit-dikit membuat mosi tak percaya, itu bukan fenomena lingkungan pendidikan. Mungkin lebih tepat berada di serikat buruh.
Guru, kepala sekolah, dan siswa tak ubahnya seperti sebuah keluarga. Harusnya ada keteduhan. Karena di sana sedang berlangsung proses pembelajaran, mewariskan nilai-nilai kebaikan; bukan aksi sikut-sikutan.
Pertanyaannya, kenapa fenomena dalam dunia pendidikan Aceh bisa melenceng sedemikian rupa?
Penyebabnya, antara lain, akibat tidak berjalannya fungsi pembinaan. SDM yang harusnya fokus melakukan tugas itu, seperti pengawas sekolah, tidak optimal bekerja. Juga perangkat lain di Dinas, seperti kepala bidang. Mereka terlalu disibukkan dengan kwitansi dan harus sering “setor muka”, bahkan hingga ke Gayo Lues, sebentar-bentar, beberapa waktu lalu.
Energi mereka habis terkuras untuk “menyelamatkan diri”. Kalau tidak, juga bahaya. Bisa mengalami nasib seperti yang lain. Sekonyong-konyong muncul todongan surat pengunduran diri tengah malam atau siap-siap diperiksa.
Permasalahan dalam dunia pendidikan harus dilakukan dengan hati-hati. Jangan sedikit-dikit dibawa ke luar.
Kalau kasus seperti mosi tak percaya jadi budaya di sekolah, ini bisa merontokkan proses pendidikan. Yang menang akan jemawa dan sewenang-wenang. Lama-lama tidak ada lagi guru yang mau jadi kepala sekolah, karena dirong-rong mosi tak percaya.
Kesalahan dari semua ini akibat terjadi pembiaran. Sekolah dibiarkan berjalan sendiri tanpa perhatian dan pembinaan yang sungguh-sungguh.
Mereka juga lelah. Selama ini sangat banyak energi yang terkuras. Sebentar-bentar dipanggil ke Banda Aceh atau harus memenuhi permintaan ini itu oknum pejabat.
Sudah cukup, Pak Marthunis. Anda harus menghentikan semua. Bantu mereka. Selamatkan pendidikan Aceh!