Skenario Selanjutnya untuk Anies

Ilustrasi (foto: unsplash.com)

UNGKAPAN bijak mengatakan “orang terdekat adalah calon musuh yang paling berbahaya.” Kata-kata bijak ini bisa diperluas maknanya. Sehingga, secara amelioratif, pola hubungan tadi tidak terbatas pada manusia dengan manusia.

“Orang terdekat” boleh juga dimaknai kepada segala sesuatu yang dianggap friendly dengan kita, seperti kendaraan, pekerjaan, bahkan sebuah aturan.

Harus bijak dan hati-hati memaknai ungkapan ini. Jangan sampai mencurigai lingkungan tanpa sebab.
Istilah “orang dekat” tentu saja tidak ditujukan untuk anggota keluarga, meskipun tidak tertutup kemungkinan juga bisa terjadi hal-hal yang tak terduga pada pola relasi dalam rumah tangga sekali pun.

Banyak kasus amoral dan tindak kriminal lainnya juga dilakukan oleh anggota keluarga terdekat. Tapi, konteks ini lebih dimaksudkan pada fenomena sosial. 

Ada sebuah peristiwa politik di ibu kota. Sedang muncul “kesedihan” kolektif masyarakat yang menginginkan agar pilkada berlangsung jujur dan netral.

Pada saat yang sama, mereka seperti kehilangan harapan manakala berhadapan dengan raksasa bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Ridwan Kamil (RK), bekas gubernur Jawa Barat, sebagai kandidat orang nomor satu untuk provinsi itu.

Semula ada secercah harapan pada sosok Anies Baswedan yang dibayangkan bakal didukung koalisi PKS dan PDIP. Belum sempat hal ini terjadi, PKS ternyata lebih memilih bergabung ikut mendukung RK dengan “imbalan” posisi calon Wagub untuk Suswono, kader mereka. Terciptalah KIM plus.

Akhirnya, PDIP seperti patah arang. Mereka tak bisa mengajukan calon sendirian lantaran syarat threshold (ambang batas) tidak mencukupi. Dalam keputusasaan itu tiba-tiba turun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ketentuan threshold. 

Gugatan itu, sebelumnya, diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh. Kedua partai ini tidak berada dalam koalisi perubahan pada Pilpres yang baru lalu. Artinya, terkesan, mereka melakukan itu bukan untuk pilkada Jakarta, apalagi untuk Anies.

Sepintas terlihat, kedua variabel tadi (gugatan dan putusan MK) tidak punya hubungan dengan Pilgub Jakarta, tapi momentum keluarnya putusan itu persis ketika sedang ramai-ramainya proses pencalonan. 
Karena KIM plus sudah memborong semua partai, PDIP yang tinggal sendirian tidak punya acara lagi untuk mengajukan Cagub. Akibatnya, muncul rumor kalau kandidat yang diusung KIM plus bakal menghadapi kotak kosong.

Dalam riuh-rendah itu muncul pula pasangan calon Dharma Pongrekun—Kun Wardana yang mengambil jalur indepenpen (perseorangan). Kemunculan pasangan ini menimbulkan kegaduhan karena disebut-sebut banyak mencatut KTP warga tanpa izin. Kedua isu tersebut menyebabkan kontestasi di Jakarta menimbulkan warna yang kurang sportif.

Makanya, ketika MK mengubah ketentuan threshold, muncul kesan seakan-akan kebijakan itu sebagai sebuah bentuk keberpihakan pada keadilan dan ingin menjawab kegelisahan rakyat. Benarkah?
Kita teringat kata-kata Rocky Gerung — yang terkesan sarkas dan pasti tidak disukai pendukung Anies — jauh sebelum Pilpres berlangsung. “Anies tidak akan menang,” kata ahli filsafat itu. 

Rocky punya alasan yang hari ini terbukti. Bahwa, Anies tidak akan menang sebelum penghalangnya disingkirkan. Siapa penghalang Anies, kata Rocky, adalah Jokowi. 

Dalam nuansa seperti itu, putusan MK seperti berkolerasi dengan pilgub Jakarta. Pasalnya, aturan itu terbit persis saat sedang ramai-ramainya isu tong kosong dan calon boneka.

Karenanya, putusan itu seperti “sahabat” bagi kelompok yang merasa dizalimi oleh keadaan: partai-partai tak ada yang mendukung Anies. Lalu, datang MK memberikan “bahu” untuk menghibur kesedihan tersebut. 

Maka, dalam konteks ini putusan MK adalah sahabat kesedihan yang bisa menjadi musuh ketika hasil pilkada (tetap) tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat Jakarta nanti.

Di saat PDIP kehilangan kesempatan mengusung calon gubernur Jakarta, nama Anies Baswedan banyak disebut. Bahkan meme yang memasangkan foto mantan Capres nomor urut 01 itu dengan Rano Karno alias Si Doel pun ramai bersileweran di media sosial. Publik merasa optimis bahwa Anies akan diambil oleh PDIP.

Ternyata tidak demikian. PDIP tiba-tiba berubah sikap. Mereka pasang “tarif mahal”. Jika mau diusulkan menjadi Cagub, Anies diminta harus bersedia jadi kader PDIP lebih dulu. Alasannya, karena partai banteng itu tidak mau menjadi “keledai” yang jatuh di lubang sama perihal kaderisasi. “Yang kita kaderkan saja bisa berkhianat, apalagi yang tidak. Kan gitu,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun.

Setelah ditinggalkan Nasdem dan PKS, pilkada Jakarta benar-benar menjadi ujian berat bagi Anies. Mantan Mendikbud yang terlanjur dianggap sebagai orang independen dan hanya akan berbakti kalau diminta, bukan melamar, ini, benar-benar berada di tapal batas. 

Apakah ia akan menggadaikan jati diri sebagai pejuang perubahan atau tunduk menjadi kader partai yang hari ini terlanjur dianggap pragmatis dan hanya mengejar kekuasaan? Atau, jangan-jangan, itu semua merupakan sebuah skenario selanjutnya untuk Anies.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *