NASIB guru kontrak yang dipecat, diberhentikan, atau habis masa kontraknya (versi Dinas Pendidikan Aceh) tak ubahnya ibarat kata pepatah. Habis manis sepah dibuang.
Terkesan kontradiktif memang. Di satu sisi, Aceh mengalami kekurangan guru sehingga harus menutupinya dengan tenaga kontrak. Tapi, di sisi lain, pemerintah Aceh menerapkan kebijakan ambigu. Tenaga dan pikiran guru honorer dibutuhkan, tapi keberadaan mereka tidak diperlakukan setara seperti tenaga kontrak lainnnya.
Nasib ribuan guru honorer jauh dari kata layak. Mereka nyaris tak pernah dianggap, meskipun telah berjasa mendidik anak masyarakat. Bertahun-tahun lamanya.
Kenapa dikatakan tak dianggap? Memang demikian kenyataannya selama dua tiga tahun terakhir. Disdik lebih mengutamakan membayar tenaga kontrak yang tak jelas relevansi background-nya dengan tupoksi pendidikan. Bahkan sebagian difungsikan sebagai buzzer.
Beda dengan satpam atau cleaning service di kantor-kantor. Tenaga kerja yang dianggap berada di level sosial terbawah itu justeru punya status jelas. Dimana-mana mengantongi SK sebagai karyawan.
Tidak demikian dengan guru kontrak Disdik Aceh. Sebagian dari mereka benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Bertahun-tahun mengabdi, tak pernah diangkat dengan SK kepala dinas.
Gaji yang diterima pun tak seberapa. Miris sekali memang.
Bertahun-tahun berjibaku akhirnya harus tersingkir kini; “”ditendang”” dari sistem. Mereka tak dibutuhkan lagi. Padahal para guru telah melakukan berbagai upaya, termasuk berkali-kali mengikuti tes
UKG (uji kompetensi guru) agar tetap bisa bertahan menjadi pendidik.
Sekarang, sebagian dari mereka diberhentikan. Apa dosamu, cekgu? Kenapa ada yang “”disayang”” ada pula yang harus jadi korban? Padahal semua kalian sama, mengabdi tanpa SK.
Kadisdik mengatakan, kalian bukan dipecat tapi berakhir masa kontrak.
Kenapa tiba-tiba sekarang ada limit masa kontrak? Dicantumkan dalam dokumen apa? Sebab, ribuan guru itu seperti pengakuan Kabid GTK tidak pernah diangkat. Mereka hanya dipekerjakan berdasarkan selembar SK pembagian tugas yang dikeluarkan oleh kepala sekolah.
Entahlah.
Kenapa pembayaran gaji guru tanpa SK ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa jadi temuan pihak berwenang. Padahal, kepala Inspektorat Aceh jelas mengatakan, bahwa SK menjadi syarat pembayaran gaji yang bersumber dari APBA.
Bagaimana mempekerjakan ribuan orang tanpa ikatan? Sementara, panitia gotong-royong di tingkat kelurahan saja ditetapkan dengan SK.
SK adalah dokumen yang mengikat hubungan kerja sama para pihak. Di sana dicantumkan hak dan kewajiban. Nah, kalau dokumen itu tidak pernah ada, lantas apa yang dijadikan dasar untuk mengikat perjanjian? Dimana pula dilihat masa kontrak berakhir?
Apa mereka cuma sepah, makanya ditendang?[]