PON itu esensinya olahraga. Perlombaan atau pertandingan berbagai cabang olahraga di tingkat nasional.
Event itu diselenggarakan secara berkala empat tahun sekali di berbagai tempat selain Jakarta. Kali ini yang ke-21, tuan rumahnya adalah Aceh dan Sumatera Utara.
Karena statusnya agenda nasional, maka pembiayaan PON selama ini selalu menjadi urusan Pemerintah Pusat. Seperti PON terakhir di Papua, APBN yang membiayainya.
Maka, setelah seluruh perhelatan PON selesai, Papua menikmati hasilnya. Berbagai infrastruktur olahraga dan sarana pendukungnya menjadi milik daerah. Mereka mendapatkan “penghargaan” sebagai tuan rumah.
PON Aceh beda. Provinsi termiskin di Sumatera ini harus mengorbankan sebagian anggaran daerah untuk membiayai tugas nasional tersebut. Jumlahnya lumayan fantastis. Semula, Rp 505 miliar. Ini cukup untuk membangun 2.525 unit rumah dhuafa type 36 seharga Rp 200 juta.
Berapa angka pasti APBA yang digelontorkan untuk PON belum diketahui. Berdasarkan rilis pemerintah Aceh pada 26 Februari 2024, segitu. Sekitar 4,31 persen dari total APBA 2024 sebesar Rp 11,7 triliun.
Badan Anggaran (Banggar) DPRA, sebelumnya, tidak menyetujui rencana tersebut dan merekomendasikan agar Pj Gubernur Aceh mencari sumber lain untuk mendukung pelaksanaan PON, tidak menggunakan dana otonomi khusus (Otsus) Aceh.
Tapi, sepertinya, protes penggunaan APBA untuk PON sudah aman. Suara lantang itu hanya melengking saat posisi Pj gubernur masih dijabat oleh Achmad Marzuki. Sekarang, ketika Aceh berada di bawah kepemimpinan Bustami, ketua DPRA tak pernah menentangnya lagi.
Mungkin, sekarang, kalimatnya berubah. Demi sukses PON, boleh lakukan apa saja. Artinya, dengan kata lain, tak apa-apa sebagian rakyat Aceh masih menghuni rumah-rumah reot asalkan penyelenggaraan PON berhasil.
PON memang luar biasa. Daerah ini sibuk memoles dirinya agar terlihat cantik di mata orang luar, para atlet dan ofisial PON. Jalan dan fasilitas umum lainnya dipercantik. Bahkan, pengemis pun tidak boleh terlihat berkeliaran karena bisa mencoreng harga diri. Semua demi PON, bukan demi rakyat.
Prasarana jalan di tempat mereka yang tidak bersentuhan dengan PON, biar saja seperti itu. Rakyat Aceh sudah terbiasa hidup sehari-hari dengan jalan rusak jika hendak ke sawah atau perkebunan. Yang penting jalan untuk tamu harus mulus dan bersih. Peumulia jamee adat geutanyo (memuliakan tamu adalah adat kita).
Dalam rangka peumulia jamee pula, kabarnya, ketentuan barcode Pertamina yang selama ini diwajibkan ketika rakyat Aceh membeli BBM subsidi di SPBU, selama PON tidak berlaku. Jadi, barcode itu hanya untuk rakyat Aceh saja. Untuk 5,5 juta penduduk provinsi termiskin di Sumatera. Semua demi PON, rakyat biar aja sengsara![]