Trial and Error Program Disdik

Ilustrasi (foto: Pixabay)

DINAS Pendidikan (Disdik) Aceh membatalkan puluhan paket proyek tahun 2024 karena berbagai alasan. Sebanyak 59 paket dibatalkan karena proyek tersebut merupakan ekses pelimpahan kewenangan pengelolaan SMA, SMK, dan SLB dari kabupaten/kota.

Dua paket proyek lainnya, tidak bisa dilanjutkan akibat terjadi kebijakan pemotongan anggaran. Kedua paket yang dibatalkan adalah kegiatan penimbunan halaman sekolah; proyek copy paste yang sering muncul saban tahun.

Ada yang terasa janggal di situ. Pelimpahan kewenangan dari kabupatan/kota ke provinsi sudah terjadi pada tahun 2017. Kalau hari ini, setelah lebih dari 6 tahun, alasan itu masih digunakan, lantas apa saja yang dikerjakan Disdik sebelumnya dengan anggaran triliunan rupiah?  

Apa pun argumentasi yang dijadikan pembenaran, silakan saja. Sah-sah saja. Karena, hingga sejauh ini, belum ada sebuah mekanisme yang memungkinkan pelibatan publik dalam perencanaan anggaran pendidikan. Padahal, output kinerja Disdik berhubungan langsung dengan penyiapan sumber daya manusia Aceh ke depan. Disdik mengurus pendidikan anak masyarakat.

Seyogiyanya, karena Disdik bekerja dengan anggaran yang bersumber dari rakyat dan mendidik anak rakyat, mereka harus bekerja profesional dan membuka diri untuk dikritik. Jangan merasa paling benar sendiri.

Pembatalan paket proyek menjelaskan kepada publik tentang pendekatan trial and error (uji coba) dalam manajemen perencanaan Disdik. Apa yang bisa ditangkap dari cara kerja yang tidak profesional tersebut?

Inilah implikasi dari kekhawatiran yang pernah disuarakan publik sejak jauh-jauh hari. Ini akibat kesalahan pimpinan daerah menempatkan pejabat yang mengurus pendidikan. Kebijakan yang secara bebal terus dipertahankan.

Seperti sering dikritik media, instansi itu belakangan banyak diisi oleh oportunis yang tergoda pindah ke sana karena silau melihat total anggaran yang dikelola Disdik. Mereka umumnya tidak memiliki latar belakang pengalaman sebagai birokrat yang paham tugas dan fungsi Disdik. Bukan pejabat karier.

Lebih-lebih saat ini, tatkala Disdik dijalankan dengan irama otoriter di bawah kendali Alhudri. Kepala dinas yang minim kapasitas ini hanya melihat Disdik sebagai lumbung cuan, sehingga abai terhadap program-program yang bersifat substantif, seperti penguatan kapasitas guru dan peningkatan daya saing lulusan. Dia tak punya visi ke arah itu.

Anehnya, kesalahan yang dilakukan oleh Gubernur Nova Iriansyah beberapa tahun lalu itu masih saja diteruskan oleh dua penjabat gubernur setelahnya. Kalau semasa Achmad Marzuki menjabat Pj gubernur, publik bisa paham kanapa kadis pendidikan tidak diganti. Mungkin saja karena orang luar tersebut tidak mau ambil pusing dengan nasib anak-anak Aceh. “Mau maju atau mundur, itu bukan urusan gue,” mungkin demikian dalam hati dia. Karena para siswa di sekolah-sekolah yang ada di Aceh bukan anaknya, bukan sepupu atau orang kampung dia.

Sekarang, ketika kepemimpinan Aceh dijabat oleh putra daerah, juga belum terlihat kepedulian untuk menyelamatkan pendidikan. Belum terlihat niat baik dari Pj Gubernur Bustami Hamzah untuk membenahi kerusakan yang telah terjadi pada pendidikan Aceh.

Pak Bus masih membiarkan Alhudri melakukan trial and error dalam mengurus pendidikan. Manajemen salah urus akibat orang yang ditempatkan ke sana minim kapasitas masih terus berlangsung. Entah sampai kapan?[] 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *