Pokir dan Ketidakberdayaan SKPA

Ilustrasi (foto: Pixabay)

KEGIATAN Festival Vespa pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh membuka “tabir” tentang ketidakberdayaan SKPA ketika berhadapan dengan oknum-oknum yang bersilewaran di DPRA. Santer disebut, kegiatan ini didanai anggaran berlabel Pokok Pikiran (Pokir) salah seorang anggota DPRA. 

Sudah jadi rahasia umum, tidak ada yang berani macam-macam ketika berhadapan dengan kegiatan berlabel Pokir. Kalau ada yang coba macam-macam, bisa panjang urusan dan macam-macam pula akibatnya.

Festival Vespa sudah jadi atensi publik. BPKP sudah menyatakan siap memeriksa kegiatan tersebut jika ada permintaan dari pemerintah daerah atau aparat penegak hukum. 

Pernyataan kepala BPKP tersebut, secara moralitas menimbulkan situasi dilematis bagi Pemerintah Aceh. Jika tidak merespon apa yang sudah menjadi aspirasi publik — seperti disuarakan MaTA — agar dilakukan audit terhadap kegiatan festival Vespa, berarti membiarkan dugaan penyimpangan pada penggunaan APBA yang notabene adalah uang rakyat.

Jika diikuti, kemungkinan akan mengorbankan anak buah. Pemerintah Aceh seperti memakan buah simalakama jadinya. 

Bagi pihak yang terlibat, terutama pejabat SKPA, pemanggilan oleh penegak hukum bukan persoalan biasa. Kegiatan ini pasti menimbulkan efek yang tidak ringan, memakan “energi” yang besar, terutama gangguan psikologis.

Biasanya, yang jadi korban selalu oknum-oknum SKPA. Dari pihak sana, paling-paling hanya koordinator lapangan (korlap) yang kena. Selebihnya, mungkin, aman-aman saja. Begitulah gambaran tidak berdayanya Dinas atau SKPA ketika berhadapan dengan Pokir.

Keberadaan Pokir itu sendiri, ibarat hantu. Wujudnya tak kelihatan, tapi menakutkan (pejabat SKPA). Tidak bagus melayani bisa dianggap tak bisa “kerja sama”, bagus sekali dilayani bisa menimbulkan potensi celaka. Contoh kasus adalah festival Vespa yang sedang menimpa Disbudpar.

Dalam banyak kasus, dugaan penyimpangan dana pokir rada gampang-gampang susah penanganannya. Contoh, kasus beasiswa. Sudah bertahun-tahun belum juga ditemukan aktor utamanya.

Yang jadi korban, biasanya, adalah korlap atau oknum pejabat Dinas. Sementara pemilik Pokir tetap bebas melenggang. Padahal, semua orang juga tahu bahwa setiap Pokir itu pemiliknya adalah anggota Dewan.

Setiap tahun, anggota Dewan-lah yang menitipkan anggaran di berbagai SKPA. Penitipan yang diduga kuat melanggar azas penyusunan program yang berbasis Money Follow Function atau juga berbasis Need Assessment (kebutuhan lapangan).

Sekarang, mana ada lagi seperti itu. Kita mendengar, pokir sudah main jatah-jatahan. Setelah para anggota Dewan mendapat jatah, baru mereka sibuk cari Dinas dan merangkai kalimat yang cocok untuk dimasukkan sebagai program/kegiatan pada SKPA yang terkait dengan Komisi masing-masing.

Ketika nomenklaturnya susah diketemukan, maka munculah kegiatan dadakan seperti festival Vespa yang dipastikan tidak lahir berdasarkan studi yang benar. Sehingga, dengan mudah bisa ditemukan kelemahannya di sana-sini.

Festival Vespa hanya “korban” yang naas. Kemungkinan masih banyak kegiatan yang didanai Pokir lainnya yang dibangun dengan asumsi pemikiran dan latar belakang seperti festival Vespa di berbagai SKPA. Hanya saja mereka belum ketiban naas, seperti “kecelakaan” yang dialami festival Vespa.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *