News  

Mereka yang Juga Berjasa Menjaga Aceh

KETIKA Soetardji menyerahkan fotokopi peta perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara (Sumut) pada Februari 2018, hal itu mungkin dianggap sebagai seremonial biasa. Tak ada yang menduga bahwa peta tersebut bisa memicu permasalahan, bahkan potensi perang saudara, di kemudian hari.

Mantan Kepala Biro Pemerintahan Setda Aceh itu secara sukarela menyerahkan salinan peta batas wilayah Aceh-Sumut kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh waktu itu, Zulkifli M. Ali, di kediamannya di Gampong Pineung, Banda Aceh. Almarhum Soetardji melakukan itu tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan penghargaan. “Peta ini sudah lama saya simpan dan ingin saya serahkan kepada orang yang tepat untuk dijaga dengan baik,” ujar Soetardji, seperti diutarakan Zulkifli kepada media ini, Kamis (19/6/2025).

Menurut cerita Pak Zul—sapaan kader PII ini—Soetardji merasa terpanggil untuk menyelamatkan warisan sejarah Aceh. “Saya berharap dengan penyerahan ini ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, generasi muda Aceh ke depan bisa melihat batas wilayah daerahnya di peta sesuai dengan aslinya,” ucap Soetardji saat itu.

Zulkifli M Ali membentangkan peta batas Aceh dengan Sumut (foto: dok Dinas Arpus)

Ternyata, fotokopi peta yang diserahkan almarhum Soetardji kini benar-benar bernilai. Dokumen itu menjadi “roh” penyelamat empat pulau milik Aceh yang terlanjur diberikan kepada Sumut. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di bawah kepemimpinan Tito Karnavian melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Keputusan itu memicu amarah rakyat Aceh, yang menggelar aksi protes dan tuntutan referendum. Pusat pun cepat menyadari kekeliruannya.

Peta batas wilayah antara Aceh dan Sumut telah disepakati sejak tahun 1992. Dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan MBA dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, secara tegas dinyatakan bahwa empat pulau yang selama ini menjadi sengketa berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

Ada sejumlah saksi yang turut menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Selain Kabid Pengelolaan Arsip, Ikhsan, pejabat kearsipan Lainua, serta tim Arsiparis Arpus, juga hadir Khudri, Kabag Pemerintahan, mewakili Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh.

Dokumen peta arsip yang diserahterimakan tersebut hari ini tersimpan dengan baik di Depo Arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. Peta tersebut menjadi bukti dan dukungan data yang kuat bagi Gubernur Aceh Muzakkir Manaf bersama Forum Forbes (DPD dan DPR RI) asal Aceh dalam memperjuangkan agar empat pulau itu kembali menjadi milik Aceh.

Dokumen itu menjadi pertimbangan Kemendagri bahwa empat pulau tersebut benar Aceh. Namun, karena dokumen itu berupa fotokopi, Kemendagri sempat khawatir jika dokumen tersebut dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Akhirnya, pihak Kemendagri menemukan dokumen asli berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992 yang membahas kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut soal batas wilayah kedua provinsi di Gedung Arsip Kemendagri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada Senin, 17 Juni 2025. “Ada tiga gedung yang dibongkar untuk mencari dokumen asli kesepakatan dua gubernur,” kata Tito di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Sabtu, 17 Juni 2025.

Terlepas dari dinamika yang sempat muncul, ada peran sejumlah tokoh yang juga berjasa telah menyelamatkan setiap jengkal tanah Aceh. Nama-nama mereka layak diabadikan dalam catatan sejarah sebagai sosok yang telah menyelamatkan martabat Tanah Rencong.

Jangan lupakan itu !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *