News  

Aktivis Perempuan: Jangan Bias, yang Harus Diusut Itu Dugaan Pelanggaran Hukum Pembuatan SK Plt Sekda

Yulindawati (foto: Ist)

KabarAktual.id – Aktivis perempuan Yulindawati menyanyangkan aksi saling serang antara dua kubu terkait kisruh SK penunjukan Plt Sekda Aceh atas nama Alhudri. Kedua pihak, dinilainya, lari dari substansi masalah. 

Seperti berkembang di berbagai media, belakangan, terjadi perang argumen antara kader Gerindra dengan Partai Aceh (PA). Keduanya saling serang setelah Ketua DPRA Zulfadhli membongkar dugaan pelanggaran prosedur dalam pembuatan SK Plt Sekda. 

Yulindawati melihat, salah satu pihak malah berusaha menarik kasus ini ke hal-hal yang terkesan sangat emosional. Karena itu, ia ingin menyadarkannya kembali. “Yang harus diusut itu dugaan kejahatan dalam memproduksi dokumen negara secara melanggar prosedur. Itu yang mestinya sama-sama jadi fokus perhatian,” ujarnya kepada KabarAktual.id, Minggu (23/2/2025).

Menurut Yulindawati, apa yang menjadi kritik ketua DPRA adalah sesuatu yang menyangkut prinsip dan marwah lembaga pemerintah dan gubernur. Zulfadhli, dinilai, justeru melakukan sesuatu yang sangat berisiko bagi dia pribadi ketika mengangkat kasus ini karena dia berhadapan langsung dengan gubernur dan PA.

Namun demikian, Yulindawati menilai, Zulfadhli sebagai pimpinan lembaga legislatif telah berada di jalur yang benar dalam melakukan fungsi pengawasan. Sebab, ketika menjalankan tugas seperti itu, semua anggota dewan harus melepaskan diri dari kepentingan partai. “Ini kepentingan pemerintah Aceh, masalah kehormatan seluruh rakyat Aceh. Jadi, jangan ditarik ke hal-hal sempit,” tegasnya.

Linda mengingatkan semua pihak agar tidak menghalalkan segala cara dalam merebut jabatan. Posisi Sekda itu, kata dia, merupakan jabatan struktural tertinggi di daerah. Karena itu, seharusnya yang ditempatkan di situ adalah sosok yang menjadi indikator keteladanan bagi seluruh jajaran di bawahnya.

Sebagai pejabat pembina kepegawaian, sambungnya, sangat ironis jika benar ada dugaan aksi pengemplangan dalam proses pembuatan SK Plt Sekda. “Untuk posisi paling elit itu seharusnya tidak ada orang yang bisa melakukannya tanpa memenuhi prosedur kelembagaan resmi seperti BKA,” kata Linda.

Ia mengkhawatirkan, jika pola-pola seperti ini lolos maka besar kemungkinan akan terulang lagi pada berbagai momen lainnya ke depan. “Bahkan bisa lebih parah dari ini,” sambungnya.

Dia menduga, pihak-pihak yang terlibat dugaan pemalsuan SK tersebut sudah membaca situasi bahwa Mualem tidak begitu teliti dalam hal administrasi. “Kelemahan tersebut rentan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang hobinya memang mencari peluang untuk berbuat curang,” tandasnya. 

Agar permasalahan ini tidak bias dan melenceng kemana-mana, dia meminta pihak terkait agar segera melaporkan dugaan pemalsuan dokumen negara tersebut ke polisi. “Apalagi ada indikasi seperti yang diutarakan oleh Ketua DPRA adanya dugaan pelanggaran hukum,” kata Linda.

Dia menambahkan, jika benar SK tersebut bukan produk resmi BKA seperti disampaikan Ketua DPRA, maka patut diduga telah terjadi maladministrasi di pemerintahan Aceh. “Lebih jauh lagi dapat dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen negara,” ujar Yulindawati.

Ia menegaskan, jika dugaan ini terbukti benar, maka kasus ini harus segera dilaporkan kepada pihak berwajib agar dapat diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bau amis haus kekuasaan

Menurut Yulindawati, dugaan pemalsuan SK Plt Sekda itu tidak sederhana. Ini merupakan gejala tidak sehat pada masa pemerintahan Mualem-Dek Fadh yang belum seumur jagung.

Ia mensinyalir ada gerakan yang teramat terburu-buru dilakukan oleh pihak Dek Fadh selaku Wagub. Dia lihai memanfaatkan kondisi Mualem yang tidak begitu dalam menguasai birokrasi dan administrasi pemerintahan.

Linda menilai, kondisi ini bisa sangat berbahaya bagi stabilitas kepemimpinan gubernur. “Bahkan ada kekhawatiran akan terjadi kudeta pada tahun kedua,” ucapnya.

Retreat

Selain masalah pemalsuan SK, Yulindawati juga menyorot keikutsertaan Mualem dan seluruh kepala daerah asal Aceh dalam kegiatan Retreat di Magelang. Hal ini, kata dia, sangat disayangkan mengingat Aceh merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam. 

Seharusnya, kata Yulindawati, dengan prinsip kekhususan Aceh dalam menegakkan syariat Islam, kepala daerah asal Aceh tidak perlu ikut retreat. “Mualem dan kepala daerah lainnya harusnya menolak untuk ikut dalam kegiatan tersebut,” tegasnya. 

Yulindawti menjelaskan, bahwa berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retreat adalah kegiatan perenungan yang umumnya dilakukan oleh salah satu agama non-Muslim. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syariat Islam yang dijunjung tinggi di Aceh, seharusnya kegiatan ini dapat ditolak oleh para pemimpin daerah. 

Yulindawati menekankan bahwa pemerintah Aceh harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang dapat berdampak pada citra kepemimpinan serta integritas pemerintahan di mata masyarakat Aceh yang mayoritas berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. “Jangan semua ditelan mentah-mentah,” pungkasnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *