Opini  

Praktik “Kanibalisme” dalam Birokrasi Aceh Besar

Avatar photo
Anak burung Kedasih menyingkirkan saudaranya sebagai strategi untuk menguasai sarang dan makanan (foto: tangkapan layar TikTok)

PRAKTIK penyingkiran dalam birokrasi, seperti yang terjadi pada pencopotan Sekda Aceh Besar, Sulaimi, oleh Pj Bupati Muhammad Iswanto, mengingatkan kita pada dinamika alam. Peristiwa itu mirip perilaku kanibalisme yang dilakukan anak burung Kedasih terhadap saudaranya. 

Dalam dunia fauna, anak burung Kedasih punya naluri untuk menyingkirkan saudaranya demi menguasai sarang dan sumber daya yang ada. 

Analogi ini menjadi refleksi terhadap tindakan-tindakan tertentu yang kerap muncul dalam dunia birokrasi.

Iswanto dan Sulaimi sebenarnya memiliki hubungan yang cukup dekat. Selain berasal dari daerah yang sama, mereka juga berbagi latar belakang pendidikan yang serupa pula. Namun, keputusan mencopot Sulaimi dari jabatannya menjadi pengingat bahwa dinamika politik dan birokrasi sering kali diwarnai oleh keputusan yang penuh tantangan dan konsekuensi.

Sebagaimana diketahui, masa jabatan penjabat kepala daerah—baik gubernur, bupati, maupun wali kota—memiliki batas waktu tertentu. Ketika masa tugas berakhir, mereka harus melepaskan fasilitas jabatan seperti pendopo, mobil dinas, serta berbagai keuntungan lainnya.

Insting anak burung Kedasih bahkan sudah mendeteksi pesaingnya sejak saudaranya masih dalam betuk telur (foto: tangkapan layar TikTok)

Tidak semua penjabat menerima kondisi ini dengan hati yang lapang. Sebagian, mungkin, mencoba memanfaatkan kesempatan terakhir untuk mengamankan posisi atau akses strategis sebelum masa jabatan berakhir.

Dalam hal ini, Pj Bupati Muhammad Iswanto, diduga, mengambil langkah-langkah tertentu sebagai bagian dari upayanya menghadapi masa transisi. 

Rumor yang beredar menyebutkan bahwa ia masuk dalam radar politik karena diduga memberikan dukungan kepada pihak tertentu dalam Pilgub 2024. Ketika peluang di tingkat provinsi menjadi sulit diraih, muncul spekulasi bahwa langkah di tingkat kabupaten adalah pilihan yang berpeluang untuk diambil untuk mengamankan keberlanjutan peran strategisnya.

Pencopotan Sekda Sulaimi diduga menjadi bagian dari strategi penataan ulang birokrasi untuk memastikan keberlanjutan akses dan peluang setelah masa jabatan selesai. Langkah ini dianggap sebagai persiapan menghadapi transisi dengan cara yang optimal, meskipun menuai kritik dan menjadi perhatian publik.

Fenomena ini memberikan gambaran bagaimana dinamika politik dan birokrasi sering kali melibatkan kalkulasi strategis yang kompleks. Dalam perjalanan tersebut, penting untuk menjaga integritas, etika, dan kepentingan bersama agar proses transisi dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi masyarakat luas.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *