Modus Lama Menyasar Bustami

Ilustrasi (foto: Shutterstock.com)

PERTANYAAN refleks yang segera menyergap benak publik pasca pelemparan bom ke rumah Bustami, calon gubernur Aceh, adalah siapa pelakunya? Menyikapi ini, banyak yang latah dan tergesa-gesa.

Lalu, dengan mudah orang-orang yang bersumbu pendek akan menghubungkan aksi si pengecut itu dengan pilkada.

“Pasti lawan politik,” kesimpulan mereka.

Dengan sendirinya, asosiasi pemikiran kemudian pasti mengarah ke kubu Muzakir Manaf alias Mualem, pesaing Bustami pada pemilihan gubernur Aceh sebentar lagi. Sependek itu antena mereka.

Atau, sebaliknya. Kubu yang pro mantan panglima GAM tersebut akan menuduh pelakunya justeru kelompok Bustami sendiri. Sama-sama bersumbu pendek.

Ujung-ujungnya, pola pikir fanatis seperti itu akan merugikan kedua belah pihak dan membuat si pelaku sebenarnya tertawa lepas. “Sudah kutipu mereka.” Mungkin seperti itu kalimat dari batin pelaku.

Pelaku pelemparan granat, mungkin, bukan dari kedua kubu. Kelompok Mualem tidak mungkin melakukannya. Juga bukan pihak Bustami. Kenapa?

Cukup dua saja alasannya. Pertama, Mualem adalah sosok tokoh yang berkharisma. Dia seorang pimpinan (panglima) yang disegani. Justeru karena kharisma itu makanya dia dipanggil Mualem. 

Sudah menjadi rumus baku dalam sistem komando, bahwa anak buah tidak akan bekerja tanpa perintah atasan. Dan, kerja-kerja murahan serta pengecut seperti itu pasti tidak ada dalam rumus seseorang sekaliber panglima seperti Mualem.

Kedua, Mualem itu orang yang taat beragama. Dia bukan pendendam. Pula, tidak ada permusuhan di antara mereka.

Kubu Bustami juga sama tidak logisnya jika diasumsikan sebagai pelaku. Dia seorang birokrat tulen, bukan preman jalanan. 

Sepanjang kariernya, juga tidak terdengar pernah berteman dengan mafia. Lingkarannya adalah orang-orang terdidik yang tidak kelaparan atau haus kekuasaan.

Jadi, siapa juga pelakunya?

Jawaban yang pasti, dia adalah sosok yang memusuhi Bustami. Ingat ya, bukan musuh. Tapi, oknum, mungkin juga oknum-oknum, yang merasa tersingkirkan oleh kebijakan selama Bustami memimpin.

Oknum-oknum ini terbilang cerdik dan sangat cekatan memanfaatkan situasi. Sangat lihai menciptakan alibi. 

Dia gunakan momentum pilkada dan membenturkan dua kubu untuk memetik manfaat pribadi. Dia menciptakan ketakutan di kubu Bustami dan meninggalkan kesan negatif untuk kubu lawannya.

Siapa pun OTK-nya, aksi pengecut yang dilakukan itu adalah lagu lama. Pola-pola yang pernah dimainkan saat konflik dulu. Pola-pola lempar batu sembunyi tangan.

Si pelaku tentu saja tidak pernah berpikir lebih jauh, bahwa kejahatannya itu berimplikasi buruk bagi Aceh yang sedang menjadi tuan rumah agenda nasional bernama PON. Karena, dia memang tidak punya nurani. Yang dia miliki hanya nafsu kebinatangan yang menghalalkan segala cara.[] 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *