CALON wakil gubernur Aceh nomor urut 2 pilkada tahun 2024, Fadhlullah, meminta pemerintah memprioritaskan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK tanpa seleksi. “Sebagai bentuk penghormatan atas pengabdian mereka.” Begitu argumentasi yang dikemukakan.
Sepintas, gagasan politikus Gerindra yang akrab disapa Dek Fadh itu terkesan punya niat baik. Mungkin banyak yang akan sependapat dengan pemikiran tersebut.
Tapi, apakah benar demikian? Tunggu dulu.
Pernyataan itu bisa kita tamsilkan tak ubahnya ibarat orang yang sedang hanyut dibawa arus deras. Dalam kondisi seperti itu, seseorang pasti akan memanfaatkan apa pun yang lewat di dekatnya sebagai pelampung untuk menyelamatkan diri.
Dalam arus politik yang cenderung pragmatis, lebih-kurang, juga demikian. Segala sesuatu asal pungut saja. Tidak didasari analisis yang mendalam untuk kepentingan jangka panjang. Benar-benar pragmatis dan politis.
Sebuah kebijakan, idealnya, tidak diperlakukan secara parsial. Ia harus dilihat secara komprehensif untuk jangka waktu yang panjang. Juga harus dipelajari latar belakang sosiologisnya.
Profesi guru bukan buruh; bukan lapangan kerja biasa. Jangan memposisikan mereka seperti angkatan kerja pada umumnya.
Pada profesi ini melekat tanggung jawab pembentukan moral, selain tugas-tugas transfer knowledge tentunya. Nah, dua hal ini saja sudah menjadikan profesi guru sangat berbeda. Menjadi sangat istimewa.
Karena itu, syarat untuk menjadi seorang guru tidak cukup dengan mengantongi ijazah saja. Apa lagi jika ada oknum-oknum lulusan sekolah guru datang ke sekolah karena ada “ordal” tanpa melewati mekanisme seleksi.
Bukan semata soal pengabaian azas obyektif dan rasa keadilan dalam rekrutmen tenaga kerja, cara seperti itu punya implikasi sangat luas terhadap masyarakat. Guru yang hadir ke sekolah yang tidak dihasilkan lewat proses kompetitif tentu saja akan mengabaikan aspek kualitas dalam melaksanakan tugas pembelajaran.
Siapa yang bisa menjamin guru model itu akan mampu mengajar anak masyarakat dengan pendekatan yang benar dan mampu melakukan pembentukan karakter?
Jangan lupa, profesi guru tidak sama seperti angkatan kerja lainnya. Kinerja guru akan bermuara pada penyiapan generasi penerus. Bagaimana hal itu bisa diraih jika guru yang dibelaskasihani itu dihasilkan oleh LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) abal-abal? Bukankah kebijakan itu nanti akan mengorbankan kepentingan masyarakat (peserta didik) luas?
Karena itu, kebijakan yang diambil tetaplah harus adil dan obyektif. Tidak boleh mengutamakan satu pihak dengan mengabaikan kepentingan orang banyak.
Guru yang telah membaktikan dirinya dalam waktu tidak sedikit harus tetap dihargai. Generasi penerus bangsa yang akan mengambil tongkat estafet masa depan juga harus mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Karena itu, di sini, dibutuhkan cara berpikir yang rasional; tidak emosional. guru PPPK,cawagub Fadhullah,pemutihan guru PPPK. Semua harus diselamatkan. Makanya, jangan merusak regulasi dalam meraih simpati.[]