Fenomena Langka di Nagan Raya, Duluan Tamat SMA Baru Melanjutkan ke SMP

Ilustrasi ijazah palsu (foto: Pixabay)

DIMANA-MANA, orang menyelesaikan pendidikan SMP dulu baru melanjutkan ke SMA. Tapi, tidak demikian kejadiannya di Nagan Raya, Aceh. 

Meski kasusnya tidak jamak, tapi fenomena unik ini tidak boleh dianggap sepele. Ini tentang secuil fakta yang menjelaskan betapa hipokrit-nya kita menyikapi pendidikan. 

Kisah ini terungkap pada pemilihan geuchik (kepala desa) yang sedang berproses di Gampong Neuang, Kecamatan Beutong, Nagan Raya. Salah seorang warga mendaftarkan diri untuk ikut berkompetisi. 

Se-Kecamatan Beutong ada 8 desa yang melaksanakan Pilkades. Untuk Blang Neuang ada 3 calon yang berkompetisi. Dari semua calon sekecamatan, ada yang bergelar sarjana, lulusan SMA, SMP, dan ada pula yang tak jelas latar belakang pendidikannya.

Kenapa disebut tidak jelas? 

Calon yang satu ini, sebelumnya, pernah menjabat Sekretaris Desa (Sekdes). Untuk duduk di jabatan tersebut, konon, dia melampirkan fotokopi ijazah Paket C (setara SMA) keluaran tahun 2015. Untuk sebuah jabatan lain, ketua Tuha Peut, semacam perangkat desa di Aceh, oknum ini juga menggunakan ijazah yang sama. 

Nama calon Kades yang kemudian berhasil memenangkan kontestasi pemilihan geuchik ini pun, sebelumnya, pernah tercantum dalam sebuah daftar pembayaran honorarium. Namanya berada di urutan pertama, sebagai ketua, dia menerima gaji dengan basis perhitungan golongan pendidikan lulusan SMA tentunya

Oknum berinisial MA itu sempat menjabat Sekdes sekitar satu tahun pada 2018. Setelah itu, posisi dia digantikan orang lain. Bisa jadi, mungkin, karena pergantian Kades. Gerbong lain pun ikut bertukar, termasuk posisi Sekdes dan Tuha Peut yang sempat diduduki sosok ini.

Setelah lama vakum di jajaran perangkat desa, MA mencoba “peruntungan” lagi dengan mengikuti suksesi sebagai calon Kades. Cilaka dua belas. Bukannya melampirkan ijazah Paket C yang pernah digunakan sebelumnya sebagai kelengkapan dokumen yang diminta Panitia Pemilihan Keuchik (P2K), tapi ia justeru menyodorkan surat keterangan pengganti ijazah, jenjang Paket B (setara SMP) pula.

Keanehan ini tentu jadi pertanyaan banyak orang, termasuk P2K. Kenapa sang calon geuchik tidak menggunakan saja ijazah Paket C-nya? Padahal, ia sudah pernah menggunakan dokumen itu ketika menjabat Sekdes dan menduduki beberapa jabatan lainnya?

Juga jadi pertanyaan, kenapa dia baru mengurus ijazah Paket B saat menjelang Pilkades sehingga ketika mendaftar harus menggunakan surat keterangan pengganti ijazah?

Apa yang terlihat dalam kasus di Blang Neuang tidak menggambarkan sebuah sistimatika berpendidikan yang lazim. Dimana-mana, orang yang sudah mengantongi ijazah yang lebih tinggi tidak perlu lagi menempuh pendidikan jenjang di bawahnya. Karena, untuk duduk di SMP, seseorang pasti sudah melewati pendidikan SD, dan seterusnya.

Karena itulah, fenomena di Blang Neuang menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan sang calon Kades tidak pernah punya ijazah.

Peristiwa langka itu memberi beberapa pelajaran penting terkait penyelenggaraan pendidikan. Pertama, ada dugaan PKBM (pusat kegiatan belajar-mengajar) tempat diselenggarakannya program pendidikan Kejar Paket untuk mereka yang putus sekolah telah bertukar fungsi.

Lembaga ini dicurigai tidak lagi benar-benar sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan bagi mereka yang mengalami kendala tertentu, seperti putus sekolah, sehingga harus memilih jalur tersebut. PKBM dituding telah berubah jadi lahan bisnis, lembaga yang memperjualbelikan ijazah.

Yang membuat tambah miris, penyalahgunaan fungsi PKBM diduga juga melibatkan oknum perangkat daerah. Sebagai bukti, ijazah Paket C yang digunakan MA ditandatangani oleh kepala dinas pendidikan.

Di lain pihak, sudah jadi rahasia umum, sejumlah oknum anggota Dewan dan tenaga honorer juga memanfaatkan “jalur tol” tersebut untuk mendapatkan ijazah. Fenomena ijazah instan yang sangat gampang diperoleh di PKBM menjelaskan, betapa pragmatisnya oknum anggota masyarakat memperlakukan pendidikan.

Mereka hanya melihat selembar sertifikat dengan kaca mata kepentingan pragmatis sempit. Pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai proses pembelajaran untuk menghasilkan generasi berkualitas dengan landasan akhlak atau karakter.  

Dengan cara-cara instan pula, oknum yang sama sekali tidak punya pendidikan, kemudian sekonyong-konyong sudah menduduki jabatan publik. Berikutnya, dengan uang dan kekuasaan, oknum semacam ini dengan mudah melakukan “money laundry” pendidikan dengan cara melobi lembaga pendidikan formal yang lebih tinggi untuk mendapatkan ijazah S2, mungkin juga S3.

Dalam skop kecil, berkaca pada kasus Blang Neuang, kasus ini adalah pelecehan terhadap proses penyelenggaraan pendidikan. Perilaku tersebut tidak menghargai kelembagaan sekolah dan proses pendidikan yang dikelola secara benar.

Dalam kasus Blang Neuang, betapa terpukulnya calon-calon Kades yang benar-benar pernah bersekolah. Mereka yang dengan susah payah menyelesaikan pendidikan, “dikerjain” oleh perilaku culas oknum-oknum yang gila kekuasaan dan rakus uang. Orang berpendidikan tersingkir oleh pemegang ijazah Paket B abal-abal.

Dalam lingkup yang lebih luas, fenomena ijazah instan akan meruntuhkan sendi-sendi pembangunan. Mereka yang menduduki jabatan tertentu tanpa dibekali pengetahun yang cukup tentu tidak memiliki kemampuan untuk menganalisis permasalahan untuk kemudian menemukan alternatif solusi dari permasalahan yang terjadi.

Jika populasi manusia semacam ini semakin banyak, maka bukan sesuatu yang mustahil sebuah daerah akan makin terpuruk. Mungkin itu pula sebabnya kenapa kemiskinan dan berbagai permasalahan sulit teratasi. Karena itu tadi, pelakunya sangat pragmatis. Apa-apa dicapai dengan cara instan, menguburkan martabat dan harga diri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *