Siap-siap, Berikutnya Giliran Bustami !

Bustami Hamzah (foto: repro)

PASTI ada babak berikutnya dalam perseteruan ini. Entah itu berimbas ke alokasi anggaran pokok pikiran (Pokir) jatah anggota DPRA atau agenda lainnya.

Seorang teman membisikkan sesuatu ke telinga saya, sore tadi. Sesuatu yang sangat mengejutkan. “Peu na neuteupeu? (apa yang kamu tahu?, red),” teman ini berucap dengan mimik serius.

Wartawan senior yang juga memimpin sebuah organisasi ini dengan penuh keyakinan mengatakan, bahwa dia mulai mendengar bisik-bisik isu pergantian Sekda Aceh, Bustami Hamzah. Memang terlalu dini kedengarannya. Apa lagi pergantian Sekda bukan perkara mudah jika harus mengikuti ketentuan normal.

Sang kawan juga langsung menyebut nama calon pengganti. Salah seorang kepala dinas besar yang selama ini cukup aman di posisinya. Bahkan ada yang berseloroh, dia adalah pejabat di segala rezim. Jika untuk orang lain berlaku istilah “setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”, untuk pejabat ini beda. Dia eksis di sepanjang masa.

Benarkah Bustami akan segera diganti? Kenapa dia harus terimbas perseteruan ini?
Jangan lupa. Bustami merupakan figur satu-satunya yang disiapkan oleh DPRA untuk menggantikan posisi Achmad Marzuki menjadi Pj gubernur. Mungkin kesalahan tidak mutlak pada diri Bustami, karena dia hanya pihak yang diusulkan. Tapi, dalam konteks sebagai bawahan, kejadian itu menjadi hal yang tidak biasa.

Hari ini, pergantian Bustami baru sebatas isu. Sebagai sebuah isu tentu tidak butuh klarifikasi. Meskipun belum tentu juga tidak bakal terjadi. 

Kita boleh bertanya. Apakah kondusivitas yang dicoba bangun oleh DPR Aceh — yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai tindakan menjilat ludah sendiri — tidak cukup mendinginkan suasana? Kita susah menjawabnya.

Karena, “tragedi” yang barusan terjadi sangat menyakitkan. Apa lagi gelombang aksi protes penolakan terhadap Achmad Marzuki — yang sebelumnya dengan penuh keyakinan juga disuarakan oleh DPR Aceh — masih terus berlangsung. Tentu ini menjadi salah satu pemantik bagi semakin suburnya keinginan untuk mendelegitimasi Bustami.

Mungkin DPR Aceh tidak ada masalah jika harus menerima risiko dari perseteruan ini. Meskipun mereka adalah tuan rumah yang dipecundangi di kandang sendiri. Tapi apa boleh buat. Iklim politik dan kondisi kepemimpinan nasional saat ini sama sekali tidak menyisakan ruang bagi sebuah perilaku istimewa bagi Aceh seperti yang pernah dinikmati pada masa-masa sebelumnya.

Hilangnya bargaining position itu dinilai juga tidak bisa dilepaskan dari rendahnya kualitas kader-kader politik di daerah. Situasi itu sangat kental terasa pasca diperpanjangnya masa tugas Pj Gubernur Achmad Marzuki. Sejumlah sosok yang sebelumnya anti hari ini tak sungkan berbalik memperlihatkan simpati. Itu adalah gambaran mentalitas sosok yang, maaf, rendah moralitasnya.

Kualitas moral para elit lokal, belakangan, jatuh ke titik nadir setelah mereka terbelenggu pola hidup hedonisme, sangat mendewa-dewakan materi. Lihatlah bagaimana mereka menumpuk harta dengan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan lewat celah-celah penguasaan alokasi dana Pokir. 

Di tengah kegalauan itu, siapa yang akan melihat Bustami? Pasti tidak ada. Dia akan ditinggalkan sendirian oleh mereka yang sebelumnya memberi tempat yang tinggi. Dia juga akan diasingkan oleh pikiran yang terbelenggu.

Terlepas dari itu semua, peristiwa hari ini memberi kita pelajaran, bahwa kita bukan siapa-siapa. Tidak mampu apa-apa. Bukan cuma Bustami yang harus dikasihani, tapi kita semua. Karena, kita tidak menyadari betapa lemahnya SDM kita.

Betapa tidak berdayanya Aceh dalam berbagai sektor selama beberapa waktu belakangan. Kasihan Aceh!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *