Pelajaran di Balik Aksi Demo Tandingan

Ilustrasi (KabarAktual.id)

MENYEBUT aksi massa di lobi depan Kantor Gubernur Aceh, Selasa (13/12/2022), sebagai demo tandingan pasti akan mendapat bantahan dari pihak-pihak yang tidak sependapat. Apa lagi menuduh ada Alhudri, kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, di belakang aksi demontrasi yang melibatkan ratusan siswa dan pegawai Disdik tersebut. 

Sulit, memang, membuktikan keterlibatan Alhudri di sana. Jika pun seandainya dugaan itu benar, dia pasti sudah menyiapkan sejumlah alibi untuk mematahkan tuduhan. Meski, pada sisi lain, siapa pun tidak bisa membendung penalaran orang yang masih waras. Akal sehat publik dengan mudah membaca, bahwa tidak ada staf yang berani melakukan aksi yang sangat beresiko tanpa lampu hijau dari “”atas””.

Baiklah. Kita tidak perlu mendebat siapa aktor intelektual di belakang aksi demo tandingan yang jadi tertawaan netizen di media sosial. Kita juga tidak mampu menebak-nebak, apakah pressure ratusan siswa dan pegawai Disdik mampu mempengaruhi kebijakan Pj Gubernur Achmad Marzuki untuk tidak mencopot Alhudri dari jabatan Kadisdik. Itu lebih-lebih bukan ranah publik. Bahasa kerennya itu hak prerogatif gubernur.

Porsi kita di sini. Porsi kita adalah berpikir tentang kelangsungan pendidikan putra-putri Aceh yang kemarin sudah ditarik-tarik ke luar jalur semestinya pada saat mana mereka seharusnya fokus belajar; bukan ikut demo tandingan.

Ada pelajaran berharga di balik aksi demo tandingan yang digerakkan melalui tangan seseorang yang menggunakan nama samaran Bos King di Disdik Aceh. Fenomena sosok ini pun menjadi hal yang mencuri perhatian.

Betapa tidak. Sosok ini terkesan sangat berkuasa. Dia bisa mengatur staf di berbagai unit kerja Disdik. Padahal, biasanya, hanya atasan paling atas, yaitu kepala dinas, yang bisa melakukan pekerjaan tersebut.

Fenomen Bos King sekaligus menjelaskan, bahwa ada sosok lain, selain kepala dinas, yang juga sangat berkuasa di Dinas Pendidikan. Ada “mata hari” kembar di sana.

Kembali ke soal demo tandingan.

Fenomena ini merupakan hal baru dalam kultur birokrasi. Rasanya, belum pernah terjadi di belahan dunia lain, ada penggalangan massa — apa lagi melibatkan staf Dinas dan siswa — mempressure kepala daerah untuk tidak mengganti kepala dinas.

Sangat tidak pada tempatnya. Para siswa dan staf Dinas Pendidikan sudah melakukan sesuatu di luar tugas mereka, sesuatu yang sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai tindakan kurang sopan.

Sangat tidak pada tempatnya siswa dan staf Dinas “mendikte” seorang gubernur. Di sinilah letak pelajaran berharga di balik aksi demo tandingan.

Tanpa disadari oleh para siswa dan staf Dinas, mereka telah diseret ke dalam praktek politik praktis oleh aktor intelektual, yang mendesain demo tandingan. Ya, anak-anak yang masih lugu dan staf Dinas yang tak punya kuasa, pasti telah dibekali dengan berbagai “spirit” menyesatkan sebelum turun aksi.

Semangat mereka, pasti, telah dipompa oleh Bos King lewat chat yang beredar di WA group. “Sudah menjadi hak kita bersuara saat lembaga dan institusi kita diserang dan difitnah. Hanya orang bodoh yang diam saat rumah tempat dia bernaung diolok-olok orang lain,” tulis seseorang yang diduga pejabat penting Disdik.

Demo tandingan adalah kecelakaan sejarah birokrasi Aceh. Boleh juga disebut malpraktek administrasi.
Jika, lagi-lagi seandainya, Pj gubernur mampu dikalahkan oleh pressure demo tandingan yang dibungkus dengan berbagai narasi yang berhasil mengelabui berbagai pihak, seperti BEM FKIP, bahkan para siswa, maka bukan hal yang mustahil jika kemudian hari metode ini akan menjadi tren.

Nah, jika hari ini baru siswa SMA/SMK Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilibatkan ikut demo, maka besok-besok, bisa lebih meluas lagi. Bukan tidak mungkin, ke depan, seluruh siswa dan pegawai lingkup pendidikan seluruh Aceh akan dikerahkan untuk berdemo. Jika hal ini terjadi, bagaimana nasib pendidikan Aceh?

Jika jabatan kepala dinas harus dipertahankan dengan menghalalkan segala macam cara, ini pasti akan menguras banyak energi. Bukan hanya tenaga, sumber daya lain, tentu juga akan tersedot untuk membiayai aktivitas yang tidak punya korelasi dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan.

Jika kepala dinas sibuk dengan urusan mempertahankan jabatan, kapan dia akan berpikir meningkatkan kualitas pembelajaran, membenahi manajemen kepala sekolah, meningkatkan kinerja pengawas sekolah, atau mengupayakan pemerataan infrastruktur pendidikan? Entahlah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *