PARTAI Amanat Nasional (PAN) pernah menjadi simbol perjuangan reformasi. Bersama rakyat, ia lahir dari semangat menggugat otoritarianisme dan meletakkan dasar-dasar demokrasi baru di Indonesia. Di masa awal, PAN menjadi rumah gagasan, tempat rakyat belajar tentang kebebasan bersuara dan hak politik yang setara.
Namun kini, semangat itu telah sirna. PAN yang dulu menjadi pelopor perubahan telah menjelma menjadi partai yang sangat elitis dan otoriter. Bahkan, tokoh utama dan pendiri PAN, Prof. Amien Rais, dikeluarkan secara tidak terhormat. Ini bukan sekadar keputusan politis, tapi pengkhianatan terhadap sejarah, nilai, dan perjuangan rakyat yang dulu mendukung lahirnya partai ini.
Kepemimpinan PAN saat ini tidak lagi lahir dari musyawarah dan keterbukaan. Ketua umum menunjuk langsung para pimpinan dengan mengatasnamakan DPP. Maka, kader-kader di seluruh Indonesia kini tak lebih dari “anak buah” yang harus patuh, bukan lagi pemilik sah dari partai politik yang semestinya menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Lebih jauh, kemerosotan nilai ini ditutupi dengan strategi murahan: menggandeng artis untuk menutupi kemiskinan gagasan. PAN kini hanya menjadi panggung pencitraan, bukan alat pendidikan politik rakyat. Partai bukan lagi arena memperjuangkan kepentingan bangsa, melainkan milik pribadi yang dijalankan seperti perusahaan keluarga.
Sebagai orang yang pernah berada dalam kepemimpinan PAN, baik di daerah maupun di tingkat nasional, saya menyaksikan sendiri perubahan drastis itu. Dalam perspektif politik, inilah yang disebut hipokrisi—kepemimpinan yang mengaku demokratis tapi bertindak otoriter. Dalam agama, ini masuk kategori munafiq: mengatakan satu hal, tapi melakukan hal yang berlawanan.
Jika hak politik kader saja tak dihargai, maka tak ada jaminan bahwa hak politik rakyat akan dijaga. Demokrasi tidak bisa tumbuh dari partai yang menolak nilai-nilai demokrasi itu sendiri. PAN hari ini bukan lagi partai rakyat, tetapi partai milik pribadi yang membajak nama besar perjuangan rakyat.
Sudah saatnya rakyat melek. Partai politik yang tidak menghormati hak politik kadernya hanyalah alat kekuasaan, bukan alat perjuangan. Dan, selama partai politik tidak direformasi, negeri ini akan terus dibajak oleh para oportunis yang mempermainkan demokrasi demi ambisi pribadi.[]
Penulis pernah menjadi Pimpinan PAN di Aceh dan Nasional. Berhenti setelah kepemimpinan PAN ditunjuk oleh Ketua Umum atas nama DPP.