Pemerintah kembali meluncurkan “terobosan?” bidang pendidikan dengan mengeluarkan regulasi baru terkait dengan sistem penerimaan murid baru. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 3 Tahun 2025 “Sistem Penerimaan Murid Baru” (SPMB).
Istilah baru ini diklaim sebagai penanda era baru dalam sistem penerimaan peserta didik yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan. Namun, benarkah ini sebuah reformasi? Atau hanya sekadar rebranding dari sistem lama yang bobrok?
Mengganti nama dari PPDB ke SPMB tidak akan menyelesaikan masalah jika akar persoalannya tidak disentuh yakni lemahnya integritas, minimnya pengawasan, dan budaya permisif terhadap manipulasi.
Perubahan nomenklatur bukan solusi, apalagi jika substansi regulasi hanya mendaur ulang mekanisme lama tanpa koreksi menyeluruh atas praktik busuk yang selama ini merusak sendi keadilan di dunia pendidikan.
Empat jalur penerimaan yang ditetapkan yakni jalur domisili, afirmasi, prestasi, dan jalur khusus secara normatif memang diharapkan untuk menjamin proses penerimaan siswa bari bisa lebih adil untuk semua lapisan masyarakat. Namun kenyataan yang akan dihadapi di lapangan sangat mungkin jauh lebih kompleks dan gelap dari apa yang diinginkan.
Jalur domisili, misalnya, yang diharapkan menjadi jalan keluar dari masalah yang selama ini ditimbulkan sistem zonasi, jika tidak diawasi dengan ketat maka akan sangat mungkin menimbulkan masalah baru ketika data kependudukan direkayasa atau dimanipulasi.
Hal ini tentu harus diantisipasi dengan langkah-langkah yang diperlukan agar manipulasi KK misalnya tidak dilakukan hanya untuk mengakali proses SPMB. Misalanya dengan melakukan verifikasi silang antara Dinas Pendidikan dan Dukcapil harus, atau KK yang diterima wajib terbit minimal satu tahun sebelum pendaftaran, kecuali dalam kondisi darurat.
Pemeriksaan lapangan secara acak dan pemberian sanksi tegas terhadap pemalsuan data menjadi langkah penting menutup celah manipulasi.Jalur afirmasi juga berpotensi menjadi celah yang bisa disulap jadi jalur instan bagi mereka yang tahu cara memanipulasi status sosial ekonomi, toh di negeri di mana integritas birokrasi yang terkenal cukup buruk ini rekayasa status sosial adalah hal lazim yang bahkan dianggap wajar sehingga apa yang diinginkan oleh pembuat regulasi baru tersebut bisa saja tidak tercapai.
Jalur afirmasi ini harus berbasis pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Peserta yang tidak terdaftar tidak boleh lolos tanpa verifikasi sosial di lapangan. Selain itu pengawasan masyarakat dengan membuka layanan pengaduan publik agar dugaan kecurangan bisa langsung ditindak.
Selain itu, jalur prestasi juga berpotensi jadi arena kompetisi tidak sehat yang hanya dimenangkan oleh mereka yang punya akses dan privilese.
Kita sering mendengar adanya manipulasi nilai rapor yang diupayakan oleh pihak-pihak tertentu guna merebut kesempatan masuk lewat jalur prestasi, langkah protektif harus dipersiapkan, tes masuk berbasis IT seperti sistem CAT sudah selayaknya diterapkan secara menyeluruh tidak terkecuali untuk jalur prestasi, sehingga nilai rapor atau sertifikat prestasi yang rawan manipulasi tidak menjadi ukuran mutlak yang menentukan kelulusan via jalur prestasi tersebut.
Terakhir yaitu jalur mutasi dan anak guru, jalur ini juga rawan disalahgunakan. Langkah yang bisa dilakukan misalnya surat mutasi harus diverifikasi ke instansi asal dan dibuktikan melalui NIP dan SK resmi. Mutasi hanya sah bila orang tua telah aktif bertugas minimal enam bulan di lokasi baru, dan anak guru yang mendaftar wajib satu KK dengan orang tua yang mengajar.
Artinya, agar sistem ini berjalan adil dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka dibutuhkan transparansi data secara real-time, pembukaan layanan pengaduan agar publik juga bisa ikut mengawasi juga sangat diperlukan, lebih dari itu juga pemerintah jika dianggap perlu bisa membentuk tim pengawas independen yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil.
Tanpa pengawasan dan integritas, sistem terbaik sekalipun akan gagal. Perbaikan di dunia pendidikan tidak cukup hanya dengan pembaharuan sistem yang dibungkus jargon manis. Tetapi lebih dari itu juga dibutuhkan kesungguhan agar regulasi tersebut bisa dijalankan dengan penuh integritas. Sebab kegagalan bukan hanya terletak pada jalur-jalur itu, tapi lebih pada niat dan moralitas birokrasi yang menjalankannya.
Kita mengkhawatirkan nantinya SPMB hanya akan menjadi parade kegagalan dan masalah berikutnya jika negara gagal menegakkan integritas di setiap tahapannya. Di lain pihak dorongan penggunaan teknologi memang terlihat progresif untuk mewujudkan transparansi, akan tapi tanpa pemerataan infrastruktur digital, ia hanya akan memperlebar jurang akses.
Anak-anak di pelosok negeri tidak pernah tau adanya seleksi untuk sekolah Unggul Garuda misalnya yang katanya dipersiapkan hanya untuk anak-anak yang kemampuan akademis di atas rata-rata, hal ini dikarenakan keterbatasan informasi dan akses internet yang mereka hadapi.
Maka, yang diharapkan sebenarnya bukan hanya sejauh mana teknologi digunakan tapi juga seberapa adil teknologi didistribusikan untuk seluruh anak negeri untuk menjamin mereka bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan agar mereka bisa mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.
Selain itu pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam menyusun petunjuk teknis juga berpotensi menjadi jebakan baru. Di tangan kepala daerah yang berintegritas, ini tentu menjadi peluang desentralisasi yang sehat. Tapi, sebaliknya di tangan politisi dan penguasa daerah yang oportunis, hal ini akan jadi peluang baru untuk menentukan siapa yang “boleh” masuk sekolah unggulan dan siapa yang harus tersingkir bukan berdasarkan kapasitas, tapi berdasarkan koneksi.
Intinya, untuk memastikan bahwa nantinya sistem baru yang bertajuk SPMB ini nantinya benar-benar menjadi solusi yang progresif untuk mengatasi carut marut penerimaan siswa baru di setiap awal tahun ajaran. Untuk menuju ke sana dibutuhkan pengawasan yang ketat termasuk dari lembaga independen di luar dinas pendidikan.
Audit proses penerimaan harus dilakukan secara ketat, bukan hanya oleh lembaga yang beririsan dengan dinas pendidikan lokal. transparansi harus dijalankan secara real-time melalui platform digital nasional yang terhubung dari pusat hingga ke sekolah-sekolah terpencil.
Data penerimaan, kuota, hingga hasil seleksi harus dibuka ke publik tanpa ada ruang gelap untuk negosiasi dan manipulasi.Sekali lagi yang perlu digarisbawahi adalah kita butuh revolusi integritas dalam dunia pendidikan.
Regulasi yang bagus hanya akan jadi “pepesan kosong” jika tanpa dibarengi dengan moralitas birokrat yang menjalankannya. Tidak ada artinya sistem canggih jika masih ada pejabat yang bermain mata dengan elit lokal. Tidak ada gunanya platform digital jika masyarakat masih percaya bahwa punya “orang dalam” adalah jalan tercepat untuk masa depan anak-anak mereka.SPMB yang merupakan awal dari serangkaian proses pendidikan di sekolah harus dijaga agar tidak berubah menjadi simbol pengkhianatan baru atas prinsip keadilan.
Pendidikan bukan soal siapa yang paling lihai menyiasati sistem, tapi siapa yang paling berhak mendapatkan kesempatan. Dan kesempatan itu tidak boleh dijual, disewa, atau diwariskan hanya kepada yang berpunya.
Jika negara benar-benar serius ingin menciptakan pendidikan yang adil, maka tidak cukup hanya membuat peraturan. Lebih dari itu Negara juga harus mampu memastikan bahwa setiap kebijakan dijalankan dengan keberanian menolak kompromi, menindak pelanggaran, dan menyapu bersih praktek manipulatif tanpa pandang bulu. Majulah pendidikan di negeriku, merdekalah bangsaku!
Penulis adalah alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh