KabarAktual.id – Kalangan civil society mengingatkan DPRA dan pemerintah Aceh, bahwa dugaan pelanggaran prosedur pada penerbitan SK Plt Sekda atas nama Alhudri belum selesai. Pihak terkait harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada publik.
Yulindawati, seorang aktivis perempuan Aceh, mengatakan, ketegangan antara Ketua DPRA Zulfadhli dengan Wakil Gubernur Fadhlullah memang telah berakhir damai. Tapi, perdamaian kedua elit ini, disebutnya, belum menyelesaikan substansi masalah.
Yulindawati menegaskan bahwa ada persoalan hukum yang belum tuntas dan perlu penjelasan kepada publik. “Urusan pemerintahan bukan kepentingan dua pihak antara DPRA dan gubernur saja. Ini juga menyangkut asas transparansi dan akuntabilitas. Makanya perlu dijelaskan secara terbuka,” ujarnya, Selasa (25/2/2025).
Sebagai masyarakat, kata dia, semua menyambut baik upaya damai yang bertujuan demi kemaslahatan Aceh. “Namun, kita tidak bisa mengabaikan masalah hukum yang harus dijelaskan dan dipertanggungjawabkan,”” ujar Yulindawati dalam keterangannya.
Menurut dia, SK Plt Aludri yang diduga tidak sesuai prosedur adalah inti permasalahan. SK tersebut, seperti dipermasalahkan oleh ketua DPRA, tidak melalui lembaga berwenang, yakni Badan Kepegawaian Aceh (BKA). Terdapat sejumlah kejanggalan, seperti penggunaan kop surat berlambang Garuda, ketiadaan paraf, serta ketidakjelasan penulisan nama jabatan definitif Alhudri.
Berbagai permaslahan itu, kata Yulindawati, jangan dianggap sederhana karena menyangkut autentifikasi dokumen negara yang bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses yang tidak melalui mekanisme standar juga dianggap mengabaikan sistem dan kelembagaan yang sudah berlaku resmi. “Kenapa bisa demikian? Ini bukan urusan pribadi atau keluarga. Ini urusan pemerintahan,” tegasnya.
Yulindawati mengingatkan ketua DPRA bahwa permasalahan ini sudah diputuskan bersama di forum rapat dewan. Malam itu sudah disetujui bersama, bahwa akan ada pemanggilan pihak terkait untuk memproses dugaan pelanggaran administrasi dalam penerbitan SK Plt Sekda.
Dia juga mengatakan, bahwa DPRA itu bukan lembaga main-main. ”Jika keputusan yang sudah disepakati bersama hendak dibatalkan, itu harus disepakati ulang dan ketuk palu kembali,” sambungnya.
Ketua DPRA, menurutnya, harus memberikan jawaban pasti mengenai status SK tersebut kepada publik. Jika tidak, isu ini berpotensi menimbulkan fitnah dan ketidakpastian. “Setelah perdamaian, masih ada tanggung jawab moral yang harus diselesaikan. Kita butuh kejelasan agar tidak ada keraguan dan fitnah yang berkembang di kemudian hari,” tambahnya.
Yulindawati berharap agar pihak berwenang segera memberikan penjelasan terkait proses hukum ini, untuk menjaga ketertiban dan memastikan bahwa aturan dihormati oleh siapa pun yang berkuasa.[]