KabarAktual.id – Dua akademisi Aceh meminta Gubernur Muzakir Manaf tidak mendiamkan dugaan pelanggaran prosedur pada proses penunjukan Plt Sekda Alhudri. Permasalahan ini bisa menimbulkan distrusted pada kepemimpinan gubernur yang mantan Panglima GAM tersebut.
Dr Taufik Abd Rahim dari Universitas Muhammadiyah Aceh menilai, SK Plt Sekda itu memang wajar dianggap bermasalah karena dibuat di hari pelantikan gubernur. “Kapan gubernur sempat tandatangani SK di hari pelantikan. Sementara, Mualem tak cukup waktu melaksanakan agenda yang padat saat sejumlah menteri dan tamu penting menghormatinya di hari pelantikan,” kata Taufik.
Menurut Taufik, di situlah cerobohnya si pembuat SK abal-abal tersebut. Masalah pertama itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa SK penunjukan Alhudri memang palsu. Makanya, Taufik meminta pihak terkait segera mengusut dugaan kejahatan yang telah mencoreng wajah pemerintahan Aceh.
Akademisi ini mensinyalir ada oknum birokrat yang sangat berambisi, gila jabatan, dan “kemaruk kehormatan”. Oknum ini lihai mencari celah dengan memanfaatkan kelemahan Mualem yang tidak begitu teliti soal administrasi. “Sangking keburu nafsu, tanggal surat pun asal tulis saja, sehingga ketahuan surat itu palsu,” sambungnya.
Oknum pejabat yang sangat ambisius seperti, kata Taufik, cenderung mengahalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan. Sehingga, dia juga tidak segan-segan juga selanjutnya untuk menjerumuskan gubernur Aceh ke dalam kesulitan. “Dan, sudah pasti akan merusak kinerja pemerintahan dan kepemimpinan gubernur,” ucapnya.
Karena, sambungnya, oknum pjabat ini setiap saat mencari celah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan tidak sungkan-sungkan menjerumuskan gubernur lewat “hidden agenda”. “Sebagai bukti, saat ini, dia berhasil mengadudomba kader partai, membuat gaduh,” kata Taufik.
Dia mengamati oknum pejabat yang terkesan arogan itu sangat bersuka cita mendapatkan SK Plt Sekda. Dia tidak menyadari kalau permasalahan SK tersebut telah menyulut pertengkaran antara dua kubu, yakni Partai Aceh (PA) dan Gerindra. “Ada kesan seolah-olah jabatannya menjadi sah karena ada dukungan partai dan orang-orang tertentu yang dicurigai menghalalkan segala cara,” kata Taufik.
Perlu ketegasan
Pengamat Politik dari FISIP Universitas Malikulsaleh Lhoksumawe, Dr M. Akmal, mengatakan, Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem, harus segera mengambil sikap terhadap polemik penunjukan Alhudri. Gubernur harus bertindak jika apa yang disampaikan Ketua DPR Aceh, Zulfadhli, itu benar.
Pendapat Ketua DPRA ini, dinilainya, sangat serius karena disampaikan dalam sidang paripurna DPRA. “Sidang itu bersifat formal dan merupakan sidang tertinggi dalam sistem kerja DPRA,” kata Akmal dilansir Line1.News, Sabtu 22 Februari 2025.
Akmal menilai apa yang disampaikan oleh Ketua DPRA itu sangat jelas bahwa ada maladministrasi dalam pengangkatan Plt. Sekda Aceh. “Publik sudah mengetahui secara luas. Ini bentuk komunikasi politik yang jelas dari lembaga legislatif,” ujarnya.
Menurut Akmal, masyarakat akan melihat kondisi ini adalah awal dari munculnya konflik kepentingan dalam sistem politik dan pemerintahan daerah Aceh.
“Gubernur tidak boleh diam, karena Ketua DPRA adalah kader Partai Aceh, dan Wagub adalah kader Partai Gerindra. Jika benar apa yang disampaikan Abang Samalanga, maka Gubernur harus segera mengambil tindakan mengevaluasi kembali kedudukan Alhudri sebagai Plt. Sekda, dan harus ada peringatan keras kepada Wagub atas pelanggaran ini,” tegasnya.
“Namun, jika yang disampaikan Ketua DPRA itu tidak benar, maka ini juga harus diluruskan dalam sistem kepartaian PA, karena Gubernur adalah Ketua PA,” lanjut Akmal.
Akmal menegaskan Gubernur harus menjelaskan ke publik agar masyarakat mengetahui inti masalah dalam pengangkatan Plt. Sekda ini. Selain itu, kata Akmal, Gubernur sebagai kepala daerah yang memegang mandat tertinggi eksekutif dalam Pemerintah Aceh harus segera meluruskan polemik ini, karena jabatan Sekda adalah pemegang kendali tertinggi dalam birokrasi pemerintahan.
“Jika didiamkan, situasi ini akan mengganggu sistem kerja pemerintahan, hubungan pemerintah dengan legislatif. Gubernur lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah dalam pengangkatan Alhudri,” ujar Akmal.
Akmal menambahkan, “Jangan sampaikan riak konflik politik yang terjadi ini akan memperburuk hubungan lembaga Legislatif dan Eksekutif Aceh, karena kedua lembaga ini pada prinsipnya adalah sebuah lembaga pemerintahan Aceh”.
Akmal menyebut Indonesia menganut sistem distribution of power, bukan separation of power. Dalam sistem distribution of power, eksekutif dan legislatif adalah patner, menjadi satu bagian sebagai pemerintahan yang saling bekerja sama. Sedangkan dalam sistem separation of power, eksekutif dan legislatif mempunyai kewenangan yang terpisah dan tidak bisa saling menjatuhkan, berdiri sendiri dengan kewenangan sendiri-sendiri (seperti negara-negara Barat dan Eropa).
“Kita berharap Gubernur Aceh sebagai kepala pemerintahan tertinggi harus segera turun tangan, untuk mengembalikan kedamaian politik dalam lembaga pemerintahan Aceh,” pungkas Akmal.[]