SEJUMLAH kepala daerah hasil Pilkada 2024 memperlihatkan sikap berbeda dari pemandangan yang sudah lumrah selama ini. Ada yang menolak dibelikan mobil dinas baru atau bahkan menggunakan mobil dinas lama. Salah seorang kepala daerah yang bersikap demikian adalah Bupati Aceh Selatan Haji Mirwan.
Alasan Haji Mirwan sangat mulia. Dia ingin melakukan efisiensi di tengah situasi keuangan daerah yang sedang sulit. Selain akibat kebijakan efisiensi yang diberlakukan secara nasional, daerah yang dipimpinnya juga sedang menghadapi defisit anggaran yang tak sedikit jumlahnya.
Selain Haji Mirwan, juga ada beberapa kepala daerah lain di Indonesia yang menolak pembelian mobil dinas baru. Ada Gubernur terpilih Bengkulu, Helmi Hasan, yang menegaskan bahwa dia dan wakilnya, Mian, mengaku tidak butuh mobil dinas baru.
Kemudian, Bupati dan Wakil Bupati Majalengka terpilih, Eman Suherman – Dena M Ramdhan. Keduanya juga sepakat menolak mobil dinas baru dari Pemkab Majalengka saat mereka mulai menjalankan tugas.
Kita tentu saja sangat salut atas sikap kepala daerah seperti ini. Masyarakat yang rasional memang mengharapkan demikian. Muncul kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) yang punya empati, tidak berwemah-wewah di depan rakyat yang hidupnya sedang susah.
Meskipun pendirian seperti itu terlihat tak ubahnya ibarat tarian sungsang di tengah masifnya praktik korupsi di negeri ini. Bukan hanya oleh pejabat negara, perilaku itu nyaris sudah merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Sangat sistemik, sehingga muncul pesimisme di kalangan sejumlah anak muda dan memaksa mereka untuk memilih kabur ke luar negeri. Mereka frustrasi melihat situasi negeri ini yang tidak memberi harapan, antara lain, akibat korupsi yang merajalela.
Di tengah fenomena korupsi yang membabi buta di tengah-tengah masyarakat, sikap yang ditunjukkan Haji Mirwan terlihat seakan-akan aneh sendiri. Putra Labuhanhaji yang sukses berbisnis di Jakarta ini terkesan sedang memainkan tarian sungsang di tengah irama musik yang sedang dimainkan.
Ya, hukum alam memang sudah demikian. Di tengah kawanan orang gila, maka orang waras dianggap sebagai sesuatu yang aneh.
Pikiran waras semua orang setuju dengan sikap Haji Mirwan. Bahkan, tidak sedikit yang mengelu-elukannya.
Tapi, jangan salah. Dari mulut orang yang sama pula akan keluar sumpah serapah, suatu saat nanti, ketika dalam kunjungannya ke desa-desa, Haji Mirwan tidak membawa “buah tangan”. Oknum anggota masyarakat langsung memberi label untuk dia sebagai bupati pelit.
Cap itu tidak akan lama datangnya. Stigma negatif akan segera muncul begitu keinginan pihak tertentu tidak dipenuhi. Mulai saat itu, pujian dan sanjugan di awal tadi akan berubah menjadi cemooh dan caci maki.
Itu baru salah satu sisi. Belum lagi “pemberontakan” dari barisan pejabat dan ASN yang sudah mendarahdaging hidup di zona nyaman korupsi.
Dalam batin, mereka pasti protes. Mereka belum siap untuk diajak melakukan perubahan drastis seperti itu. Akan memunculkan culture shock.
Perubahan itu benar-benar sangat drastis. Bandingkan dengan perilaku oknum bupati sebelumnya. Baru menyerahkan mobil dinas setelah dua tahun selesai menjabat. Itu indikasinya apa?
Haji Mirwan boleh saja punya pendirian seperti itu. Sebagai pengusaha sukses, dia sudah terbiasa menikmati mobil mewah. Tapi, bagaimana dengan wakilnya? Apakah batin Baital Mukadis, yang bukan pengusaha sukses, benar-benar siap?
Akan banyak tantangan. Seorang kepala daerah juga tidak gampang ketika berhadapan dengan mitra lainnya. Dia akan kebingungan ketika suatu saat kelak tiba-tiba datang “todongan” dari atas. Apakah dia cukup dengan jawaban “kami antikorupsi”?
Inilah makanya, antara lain, menjadi penyebab kenapa Aceh setiap tahun mengalokasikan anggarannya untuk lembaga vertikal, meskipun hal itu jelas-jelas melanggar aturan.
Anggaran kan harusnya digunakan untuk menjalankan tupoksi dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup rakyat? Itu hanya teori. Karena, begitu berhadapan dengan kekuasaan, teori itu akan dikesampingkan dulu. Ada yang lebih utama: keselamatan diri.
Nah, potensi “petaka” dalam menjalankan birokrasi di negeri Konoha tidak hanya tersebab karena kecerobohan diri sendiri. Bupati atau kepala daerah yang punya niat suci boleh saja akan bekerja dengan sangat hati-hati dan membangun ketegasan antikorupsi.
Tapi, jangan salah. Dia berada dalam sebuah sistem yang sulit dilepaskan dari praktik koprupsi. Bisa saja kesalahan muncul dari seorang staf yang kemudian menimbulkan imbas ke atas.
Apa yang diucapkan hari ini akan menjadi catatan sejarah di kemudian hari. Jika itu sesuatu yang konsisten, H Mirwan akan dikenang sebagai bupati yang berhati mulia. Tapi, jika sebaliknya, ia tidak lebih dari seorang pemain akrobat politik. Waktu yang akan membuktikan semuanya.[]