SEPERTI kepala daerah yang baru dilantik lainnya, Bupati Aceh Besar Muharram Idris juga memulai hari pertama bertugas, Senin 17 Februari 2025, dengan apel bersama. Tapi, dia tidak ingin melakukan aktivitas yang sudah rutin dilakukan ASN itu tanpa makna.
Bukan hanya seremoni “tabek bendera” dan menerima laporan rutin jumlah peserta upacara, bupati yang biasa disapa Syech Muharram itu membuat pertemuan resmi perdananya dengan jajaran birokrasi secara lebih berkesan. Dia ingin menggugah mereka dari sebuah rutinitas kerontang yang minim inovasi.
Setelah mengucap salam, memulai pidato sambutannya dengan kalimat puji syukur dan penghormatan, kemudian bupati membangun interaksi dengan peserta apel. Ia mengajukan sebuah pertanyaan sejarah yang sudah dilupakan orang bertahun-tahun lamanya. “Kapan Kabupaten Aceh Besar terbentuk?” ucap Syech Muharram seperti diceritakan kembali kepada kami, sejumlah awak media, yang menemuinya di kediaman, Senin (17/2/2025) malam.
Mendapati pertanyaan itu, kata Syech Muharram, peserta apel yang terdiri dari para pejabat, ASN, hingga tenaga kontrak, hanya diam membisu. Hening. Tak terdengar satu pun suara yang menjawab pertanyaannya.
Syech Muharram kemudian meminta mereka yang bisa menjawab untuk mengacungkan tangan. Ditunggu beberapa saat, juga tidak terdengar suara yang menjawab.
Setelah memastikan, bahwa benar-benar tidak ada peserta apel yang ingat sejarah, bupati kemudian melanjutkan sambutannya.
“Bapak/ibu, saudara-saudara peserta apel yang saya hormati. Kata seorang filsuf barat, orang yang melupakan sejarah adalah mereka yang berjiwa kerdil,” ucap Syech Muharram.
Bupati yang berlatar belakang mantan kombatan ini mulai membuka ingatan peserta apel dengan menjelaskan sejarah pembentukan Kabupaten Aceh Besar. Dia mengatakan, kabupaten itu dulunya berada di ibu kota provinsi. Kantor bupati beralamat di Jalan Pocut Baren, Banda Aceh (sekarang).
Dulu, Aceh Besar memiliki semua fasilitas publik. Punya rumah sakit, masjid raya, dan berbagai aset lainnya. setelah “tergusur” dan menyerahkan semuanya menjadi milik Kotamadya (waktu itu) Banda Aceh, Aceh Besar tidak punya apa-apa lagi.
Melansir laman acehbesarkab.go.id, disebutkan, bahwa sebelum dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seulimum, Kewedanaan Lhoknga, dan Kewedanaan Sabang.
Dengan perjuangan yang panjang Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.
Banda Aceh yang sudah ditetapkan sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Karena itu, mulailah bergulir wacana untuk memisahkan Aceh Besar dari Kotamadya Banda Aceh.
Usaha pemindahan Aceh Besar dari wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969 dengan lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh. Usaha tersebut pemindahan tersebut belum terlaksana sebagaimana diharapkan.
Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya Kemukiman Janthoi yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh.
Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek, kemudian, disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh besar adalah Kemukiman Janthoi dengan nama “KOTA JANTHOI”.
Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai. Akhirnya, seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke ibukota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 3 Mei 1984 oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Soepardjo Rustam.
Kepada kami, Syech Muharram mengatakan, bahwa dia bukan hendak membangun sikap pesimistis dengan mengungkit sejarah, tapi ia hendak menggugah kembali kesadaran, bahwa setelah sekian puluh tahun meninggalkan Banda Aceh, daerah ini nyaris tidak punya apa-apa. “Kita belum punya rumah sakit yang representatif,” ucapnya.
Bupati mengajak semua stakeholder Aceh Besar untuk melangkah ke depan meraih kemajuan tanpa melupakan sejarah. Syech Muharram menyadarkan para pemangku kepentingan di daerah itu bahwa kondisi Aceh Besar hari ini masih tertinggal jauh dibandingkan daerah lain di Aceh.
Dia mengungkapkan, masyarakat Aceh Besar, khususnya petani, masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. “Oleh karena itu, kita harus bekerja keras untuk mengubah keadaan ini,” kata Syech Muharram.
Bupati juga mengingatkan, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka generasi mendatang akan tetap berada dalam kemiskinan. “Kalau kita membiarkan kondisi ini tidak berubah, berarti kita telah mewarisi kemiskinan bagi anak cucu kita di Aceh Besar,” ujarnya di acara apel Senin 17 Februari 2025.[ bersambung ]
:: Syarbaini Oesman