Anomali LPG 3 Kg

Ilustrasi antrian LPG 3 kg (kolase foto: KabarAktual.id)

KEPANIKAN terjadi usai seorang ibu-ibu meninggal dunia di Pamulang Barat, Kota Tangerang Selatan, akibat mengantre LPG 3 kg. Bahlil (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dituding sebagai biang kerok, dia dianggap telah menyusahkan rakyat. 

Bahkan, Bahlil jadi sasaran kemarahan warga yang mengalami kesulitan mendapatkan elpiji 3 kg. Mereka menuding kebijakan penataan elpiji 3 kg yang diterapkan pemerintah justru memberatkan masyarakat dan mengganggu produktivitas. “Sudah nggak kenal rakyat kalau sudah menjabat, etikanya tidak ada,” demikian mereka menyemprot Bahlil. 

Bak “Robin Hood”, Presiden Prabowo dengan cepat bertindak. Dia memanggil Bahlil dan memerintahkannya agar membatalkan kebijakan yang baru dibuat, yakni pelarangan pengecer menjual LPG 3 kg.

Prabowo dielu-elukan. Dia dianggap layaknya pahlawan yang pro rakyat. Benarkah dia telah memihak rakyat?

Sebagian besar rakyat Indonesia memang hobi nonton sinetron, makanya cepat larut ketika menyaksikan acting sebuah drama. Lalu bertepuk tangan atau sebentar-bentar berurai air mata.

Masyarakat mudah kehilangan akal sehat, sehingga mau melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri. Seperti pada kasus pengecer LPG 3 kg. Tidak jelas siapa yang harus dibela.

Padahal, jelas, rakyat yang jadi korban karena hak mereka untuk mendapatkan barang subsidi dipermainkan oleh pangkalan dan pengecer. Kedua pihak ini sama-sama melanggar aturan. Mengapa rakyat memarahi Bahlil? Akhirnya penjahat yang tepuk tangan.

Sumber masalahnya bukan di situ. Kelangkaan LPG 3 kg terjadi akibat permainan pangkalan. Sumber masalahnya lagi adalah mafia di bisnis ini. Kenapa begitu susahnya masyarakat mendapatkan kuota?

Pemerintah hanya ingin populis biar mendapatkan hasil poling terbaik ketika lembaga survei bekerja untuk mendapatkan data, sehingga mereka bisa membuat desain grafis tentang pemimpin paling disukai. 

Padahal, sebenarnya, pemerintah tidak bekerja untuk menyelesaikan beban rakyat. Mereka tak ubahnya ibarat “pemadam kebakaran’’.

Kalau pemerintah benar-benar ingin menertibkan pelanggaran yang dilakukan pangkalan, sebenarnya gampang saja. Audit mereka dan lakukan investigasi.

Pertanyaan paling sederhana adalah dimana para pengecer mendapatkan LPG 3 kg yang berstatus barang subsidi tersebut? Apakah mereka mendapatkannya di hutan? Kan tidak!

Bukankah tempatnya jelas, bahwa LPG 3 kg hanya tersedia di pangkalan yang diberi izin resmi oleh Pertamina. 

Bukankah untuk mendapatkan sebiji gas melon di pangkalan, tidak gampang? Masyarakat harus bawa KTP dan diminta syarat ini itu? Lalu, kenapa pengecer bisa dengan mendapatkannya? Dalam jumlah tidak sedikit pula!

Kenapa oknum pejabat semua seperti hilang akal sehat, pura-pura bego, dan tidak mampu menertibkan pangkalan? Ada siapa di belakang ini semua? 

Makanya, hampir bisa dipastikan. Pemerintah tidak bakalan mau melakukannya. Sebab, bisa-bisa akan mempermalukan diri sendiri. Karena, tidak tertutup kemungkinan bahwa para pemilik pangkalan itu adalah ordal. Makanya tak mungkin ditertibkan.

Anomali ini kemungkinan akan terus seperti ini. Selamanya. Karena pemerintah ingin populer. Biar selalu ada bahan untuk ditulis besar-besar oleh lembaga survei: mereka bekerja dengan kepuasan tertinggi. Kepuasan untuk diri mereka sendiri, maksudnya![]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *