Akankah Pelaku Pelanggaran Etik ASN Ditunjuk Jadi Sekda?

Ilustrasi (foto: Pixabay)

SIKAP yang diambil oleh Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA tidak langsung menunjuk Plh Sekda — setelah Azwardi meninggalkan jabatan itu –menimbulkan tanda tanya di publik. Apa yang mendorong pejabat eselon I Kemendagri itu tidak langsung menetapkan pengganti Azwardi?

Seperti diberitakan media ini, jabatan Sekda Aceh masih dibiarkan kosong setelah Azwardi dilantik menjadi Pj Bupati Aceh Barat, Jumat 11 Oktober 2024. Asisten Bidang Pemerintahan, Keistimewaan, dan Kesejahteraan Rakyat Setda Aceh itu sebelumnya merangkap sebagai pelaksana harian (Plh) Sekda.

Beberapa hari sebelumnya sempat beredar informasi kalau posisi Plh Sekda akan diberikan kepada Muhammad Dirwansyah, kepala sekretariat atau Katibul Wali Nanggroe Aceh. Tapi, tampaknya, hal itu belum terjadi. 
Sinyalemen ke arah itu semakin kuat ketika elit birokrasi Aceh memilih tutup mulut saat ditanya tentang sosok yang akan mengisi jabatan Sekda. Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA) Abdul Qahar yang ditanyai, Jumat (11/10/2024), juga terkesan sangat hati-hati menjawab pertanyaan media ini.

Pejabat pembina kepegawaian Pemerintah Aceh tersebut hanya menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengajukan calon pengganti Azwardi. “Baperjakat telah mengajukan beberapa nama yang akan diputuskan oleh pak Gubernur. Demikian terimakasih,” hanya itu jawaban Qahar.

Ketika diminta inisial dari ketiga nama calon Plh Sekda, kepala BKA ini tidak meresponnya lagi. Hanya ada jawaban kemarin. “Baperjakat telah mengajukan beberapa nama”. 
Siapa saja beberapa nama itu, publik sama sekali tidak boleh tahu.

Sampai di situ, terkesan, birokrasi seakan-akan sebuah teritorial sakral yang tidak boleh sembarang orang ikut mengetahuinya. Apakah benar demikian prinsip pemerintahan yang — katanya — bersih dan melayani?

Padahal yang kita tahu, seperti pelajaran di bangku sekolah, birokrasi itu bukan penguasa. Aparatur pemerintahan hanyalah fasilitator yang bertugas menyelenggarakan regulasi untuk melayani rakyat. Maaf kata, peran itu nyaris sama seperti pekerjaan mekanis. Hanya rutinitas. Jadi, tidak perlu politisasi di sana.

Penundaan pengisian jabatan Plh Sekda menimbulkan spekulasi. Apakah Pj gubernur akan melakukan kebijakan yang kontraproduktif?

Jika mengamati “bahasa tubuh” kepala BKA yang mengunci rapat informasi calon Plh Sekda, bukan tidak mungkin, salah satu nama yang diajukan itu merupakan sosok yang kontroversial. Dia merupakan salah satu Staf Ahli Gubernur yang belum lama ini dinyatakan terlibat kasus pelanggaran etik ASN karena melakukan politik praktis.

Panwaslih Aceh telah menyampaikan laporan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Staf Ahli Gubernur, Alhudri, secara resmi kepada Pemerintah Aceh melalui BKA belum lama ini. Namun, surat tersebut, tampaknya, tidak digubris oleh Pj gubernur. Fakta Inilah yang memunculkan kemungkinan, bahwa jabatan Plh Sekda akan diberikan kepada pejabat yang melanggar kode etik ASN tersebut.

Bagaimana jika hal itu terjadi?

Publik hanya bisa mencatat, bahwa Pj Gubernur Safrizal adalah sosok yang tidak konsisten. Tidak seirama antara perkataan dan perbuatan. Sebab, dalam beberapa kesempatan, dia pernah berujar, bahwa dia akan mengeksekusi mereka yang tidak netral dalam pilkada. “Jika ada laporan dari Panwaslih mengenai ASN yang melanggar netralitas, saya akan tindak tegas,” ujar Safrizal.

Akankah preseden buruk itu terjadi? Semoga analisa ini keliru.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *