Korban Prank Alhudri

Ilustrasi (foto: pngwing.com)

KASIHAN Alaidin Abu Abbas, calon wakil bupati Aceh Tengah yang menjadi pasangan calon bupati Alhudri. Kasihan, kalau dia benar-benar bukan bagian dari prank yang dimainkan Alhudri dalam kontestasi pilkada dataran tinggi Gayo tahun 2024. Artinya, dia juga korban. Dia ikut dipermalukan.


Kalau dia memandang pengunduran diri pasangannya itu sebagai peristiwa biasa saja, bisa jadi skenario itu sudah menjadi kesepakatan mereka dari awal. Artinya, langkah-langkah itu memang sudah disusun secara bersama-sama dalam sebuah grand desain yang rapi. 

Kalau tidak, berarti Alaidin juga jadi korban prank, setelah berkontemplasi. Kasihan!

Tapi, ada yang lebih miris, yaitu rakyat, tokoh masyarakat, partai pendukung, dan penyelenggara pilkada di kabupaten itu. Tentu, mereka ini sungguh-sungguh ingin menitipkan harapan kepada pasangan Alhudri-Alaidin. Seperti ditulis besar-besar di media, mereka adalah pasangan yang diinginkan rakyat. Pasti tidak ingin di-prank.

Alhudri mendeklarasikan maju menjadi calon bupati pada 29 Agustus 2024. Untuk membuktikan yang dilakukan itu bukan main-main, dia menanggalkan jabatan Pj bupati yang sedang diduduki di Gayo Lues. Jabatan yang sejak lama dia incar, yang menjadi obsesi dan beberapa kali gagal dia dapatkan di Aceh Tengah, tanah kelahirannya.

Sejumlah kegiatan pun dilakukan untuk membuktikan keseriusan ikut kontestasi, seperti nyekar di kuburan, tepung tawar, dan berkunjung kemana-mana. Semua ia pamerkan demi membuktikan bahwa dia tidak sedang main-main.

Tapi, behind the scene, cerita seseorang yang mengaku dekat dengan Alhudri, apa yang dilakukan itu tak senyata seperti terlihat di permukaan. Seperti permainan catur, ada bidak yang dikorbankan untuk melangkah ke sebuah strategi yang lebih mematikan. “Maju bupati itu hanya sebuah trik,” cerita sumber ini.

Ya, “perseteruan” Alhudri dengan Sekda Bustami yang kemudian menjadi Pj gubernur benar-benar membuat mantan Kadisdik Aceh itu “mati kutu”. Makanya, dimunculkan bermacam-macam trik, seperti ikut kontestasi pilkada dan isu akan pindah berkarier di Jakarta. 

Kenapa Alhudri memilih mundur? 

Kalau ada pembenaran bahwa Alhudri lebih tepat bertahan di ASN karena dia satu-satunya putra daerah yang masih menjabat eselon II, ini juga alasan yang kurang tepat. Karena maju sebagai calon bupati itu bukan kerja main-main. 

Selain itu, yang harus juga dipahami, bahwa jabatan di birokrasi bukanlah seperti mengelola perusahaan pribadi. Jabatan tidak dibagi-bagi berdasarkan pertimbangan wilayah. Dia punya aturan, punya mekanisme sendiri.

Jabatan di pemerintahan juga tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang, misalnya, hanya untuk memperhatikan daerah asal. Ini menyalahi aturan lagi. Karena sebagai fasilitator, pejabat birokrasi juga harus adil, obyektif, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang benar. Bukan bagi-bagi jatah di sana. 

Karena itu, prank yang diciptakan itu, tampaknya, tidak lebih dari sekedar pertimbangan pragmatis. Untuk kepentingan sendiri.

Coba perhatikan momentum yang dipilih. Alhudri menyatakan batal maju setelah Bustami lebih dulu mengundurkan diri dari ASN. Artinya, “batu sandungan” Alhudri di birokrasi telah lenyap. Bustami bukan Sekda Aceh lagi.

Dengan demikian, dia bisa menata kembali jalan untuk mencapai karier lebih tinggi di birokrasi, menjadi Sekda Aceh misalnya. Jadi, betul kata seseorang tadi. Bahwa, majunya Alhudri menjadi calon bupati hanya sebuah langkah pengecoh untuk mengacaukan fokus sang lawan. 

Alhudri berhasil memainkan trik itu. Dan, di dunia birokrasi Aceh, kelak, akan ada catatan sejarah yang bakal menginskripsikan nama Alhudri sebagai sosok pencipta “prank” paling sempurna di bumi Serambi Mekkah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *