Intat Linto JPT

Ilustrasi kayu bakar (foto: BenarNews.org)

SUDAH menjadi rahasia umum, bahwa seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) hanya formalitas saja. Biar rekruitmen calon pejabat terlihat modern,  seakan-akan fair dan obyektif. Padahal, sesungguhnya tidak.

Biasanya calon yang akan ditempatkan pada jabatan tertentu sudah duluan disiapkan orangnya.

Kalau menyadari hal ini, seorang ASN yang tidak punya siapa-siapa, sebenarnya, tidak perlu repot-repot ikut seleksi JPT. Akan percuma saja.

ASN yang tak punya “ordal” hanya jadi pelengkap penderita pada skenario bagi-bagi jabatan yang seakan-akan adil tersebut. Ibarat “kayu bakar”, dia hanya berfungsi untuk “”memasak”” calon titipan.

Dengan kata lain, hanya jadi peserta intat linto (barisan pengantar pengantin) untuk memenuhi tahap prosedural sebelum “putra mahkota” menduduki jabatan.

Tidak ada yang namanya pertimbangan kualitas atau prestasi kerja pada seleksi JPT yang sarat nepotisme. Semua tahapan seleksi, mulai administrasi, tes tertulis, hingga wawancara, hanya ecek-ecek. Kasihan mereka yang tidak menyadari kondisi ini, sehingga sangat serius mengikutinya.

Syarat dan kriteria boleh saja terdengar ideal. Menuntut pengalaman dan jenjang karier yang relevan dengan jabatan yang akan dilamar. Tapi, itu semua hanya catatan di atas kertas. Meski sehebat apa pun tim seleksinya, hasil akhir lain lagi ceritanya.

Undang-undang ASN memang menegaskan demikian. Seleksi JPT harus mengedepankan merit sistem, adil, obyektif, dan mengutamakan kualifikasi. Faktanya nonsense. Dalam prakteknya yang dilihat adalah “rekomendasi”. Ada siapa di belakang anda? 

Hasil seleksi JPT Pratama Pemerintah Aceh yang telah meloloskan enam calon pejabat eselon II, baru-baru ini, seperti membuktikan sinyalemen selama ini. Bahwa, fit and proper test itu hanya formalitas belaka. Buktinya, seperti prediksi publik, bahwa mereka yang diloloskan itu adalah putra mahkota. Orang-orang yang sudah dipersiapkan.

Sebagai contoh, Teuku Zaufi SE MM. Pejabat eselon III pada Sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) yang disebut-sebut merupakan menantu mantan Sekda, tidak memiliki pengalaman 5 tahun dalam bidang tugas terkait jabatan yang dilamar. Padahal, ini syarat mutlak yang harus terpenuhi.
Hasil seleksi JPT Pratama yang dilakukan oleh tim pansel pimpinan T Setia Budi hanya sebuah formalitas untuk meloloskan calon titipan. Fakta itu sekaligus membantah pernyataan sebelumnya yang menyangkal adanya putra mahkota.

Seleksi JPT Pemerintah Aceh, kali ini, menjadi preseden buruk penjenjangan karier ASN. Bayangkan, mereka yang merintis karier dari bawah, sudah pengalaman melaksanakan tugas, tak dianggap sama sekali. Mereka yang profesional tersingkir oleh putra mahkota, anak kemarin sore, yang datang entah dari mana. 

Para ASN yang hebat-hebat hanya bisa pasrah dan frustrasi menyaksikan permainan ini. Merasa dikadalin. Hanya dijadikan sebagai pasukan intat linto untuk mengantarkan putra mahkota melalui seleksi JPT Pratama formalitas.

Bukan hanya ASN intat linto yang jadi korban. Penempatan pejabat yang tidak berkualitas berisiko pada kinerja pemerintah Aceh ke depan. Padahal, kinerja yang diharapkan seyogiyanya bisa meningkatkan kualitas hajat hidup rakyat banyak, bukan kemewahan jabatan untuk anak pejabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *